Kalangan
pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi
pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun
1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga
dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana
pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya
didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan
basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul
Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi
juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan
memiliki cabang di beberapa kota.
Sementara itu, keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang
dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan
tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan
martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan
yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat
kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi
sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain,
sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan
pembebasan.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab
wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah
Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap
bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum
modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan
Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto.
Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman,
menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban
tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota
Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga
tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres
Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab
serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan
pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite
Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan
tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud
mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas
dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah
peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil
memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan
peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional
dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi
yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi
perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai,
akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari
1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais
Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari
merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan
kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian
diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga
NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan
politik.
Paham Keagamaan
Nahdlatul Ulama
(NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang
mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum
ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak
hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah
dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir
terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi
dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat
madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang
tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang
mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting
untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta
merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun
sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan
tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika
sosial dalam NU.
1. Tujuan Organisasi
Menegakkan
ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah di tengah-tengah
kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Usaha Organisasi
a. Di
bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa
persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
b. Di
bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan
nilai-nilai Islam, untuk membentuk Muslim yang bertakwa, berbudi luhur,
berpengetahuan luas. Hal ini terbukti dengan lahirnya lembaga-lembaga
pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah
khususnya di pulau DKI.
c. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
d. Di
bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati
hasil pembangunan, dengan berkembangnya ekonomi mengutamakan rakyat. Hal
ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang telah
terbukti membantu masyarakat.
e. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyarakat.
Struktur Organisasi
- Pengurus Besar (tingkat Pusat)
- Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
- Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten / Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri.
- Pengurus Majelis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
- Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan, terdiri dari:
1. Mustayar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan Tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
4. Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
5. Syuriyah (Pimpinan Tertinggi)
6. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Daftar Pimpinan Nahdlatul Ulama:
Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (Pimpinan Tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
1. KH. Mohammad Hasyim Asy’arie, 1 926 – 1947.
2. KH. Abdul Wahab Chasbullah, 1947 – 1971.
3. KH. Bisri Syansuri, 1972 – 1980.
4. KH. Muhammad Ali Maksum, 1980 – 1984.
5. KH. Achmad Siddiq Muhammad Hasan, 1984 – 1991.
6. KH. Ali Yafie (pjs), 1991 – 1992.
7. KH. Muhammad Ilyas Ruhiat, 1992 – 1999.
8. KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, 1999 – sekarang.
Jaringan Organisasi
Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:
33 Wilayah,
439 Cabang,
15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri,
5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC,
47.125 Ranting.
NU dan Politik
Pertama
kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan
diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti Pemilu 1955.
NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante.
Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung
Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan
yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Anshor.
NU
Kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada
tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa Orde Baru. Mengikuti Pemilu
1977 dan 1982 bersama PPP. Pada Muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan
diri untuk ‘Kembali ke Khittah 1926’ yaitu untuk tidak lagi berpolitik
praktis.
Namun
setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU.
Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan
oleh Abdurrahman Wahid. Pada Pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan
Bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid Sebagai Presiden RI. Pada
Pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.
Perkembangan NU
Perkembangan
kontemporer pemikiran keagamaan (Islam) dalam komunitas NU menunjukkan
fenomena yang menarik, terutama yang digalang kader mudanya. Mereka
mempunyai gagasan keagamaan progresif dalam merespons modernitas dengan
menggunakan basis pengetahuan tradisional yang mereka miliki setelah
dipersentuhkan dengan pengetahuan baru dan berbagai khazanah modern.
Mereka tidak hanya concern
dengan modernitas yang terus dikritik dan disikapi secara hati-hati,
tetapi juga melakukan revitalisasi tradisi. Proses revitalisasi tradisi
yang mereka lakukan tidak sekadar mengagung-agungkan dan mensakralkan
tradisi, tetapi juga melakukan kritik secara mendalam atas tradisinya
sendiri, baik yang berkaitan dengan perilaku maupun pemikiran. Bahkan,
sendi-sendi doktrinnya sendiri seperti doktrin ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah
tidak lepas dan sasaran kritisismenya. Pikiran dan sikap mereka secara
umum jauh lebih responsif dibanding seniornya dalam menghadapi
modernitas.
Munculnya
gairah barn intelektualisme NU tidak lepas dan keputusan NU
meninggalkan hiruk-pikuk kehidupan politik praktis dengan konsep kembali
ke khitah 1926 pada 1984. Dengan keputusan itu, warga dan elite NU
tidak lagi disibukkan urusan-urusan politik praktis sehingga mempunyai
waktu lebih banyak untuk memperhatikan masalah pendidikan. Selah itu,
terpilihnya Kyai Achmad Siddiq sebagai Rais ‘Aam Syuriyah dan
Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Tanfiziyah PB NU pada Muktamar di
Situbondo tahun 1984 mempunyai pengaruh signifikan perkembangan
pemikiran keagamaan NU.
Dalam
konteks inilah, Muktamar Pemikiran Islam di NU mempunyai makna yang
strategis untuk terus menjadikan NU sebagai eksemplar gerakan
intelektual, bukan semata-mata sebagai gerakan politik.
Komunitas
NU dikenal sebagai masyarakat “tradisional”. Tradisionalisme itu di
satu pihak merupakan hambatan perkembangan NU, di pihak lain hal itu
sekaligus merupakan modal sosial-intelektual dan kekuatan bagi NU.
Artinya, apa pun upaya yang dilakukan untuk “mengubah wajah NU” harus
berangkat dari realitas masyarakat NU sendiri. Tradisionalisme itu
biasanya ditandai beberapa hal. Pertama, komunitas ini sebagian
besar tinggal di pedesaan, meski belakangan terjadi mobilitas vertikal
di kalangan elite pedesaan ini, terutama kalangan muda NU terpelajar.
Mereka tidak lagi tinggal di pedesaan, tetapi mulai menjadi agen-agen
perubahan di perkotaan. Meski demikian, sebagian besar warga NU tetap
tinggal di pedesaan dengan karakternya sendiri. Salah satu karakter
pedesaan adalah kurang dinamis, sulit melakukan perubahan, dan lebih
bersifat defensif terhadap modernitas.
Kedua,
NU mempunyai dasar-dasar dan kekayaan intelektual yang senantiasa
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui lembaga
pesantren. Karena kekayaan itu sehingga menjadikan NU amat apresiatif
terhadap pemikiran lama meski oleh kalangan tertentu diklaim sebagai
bid’ah dan khurafat. Dengan kaidah al-muhâfazah ‘ala al-qadim al-shâlih wa al-akhzu bi al-jadId al-ashlãh
(memelihara [hazanah] lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru
yang lebih baik), kekayaan intelektualisme ini terbentang mulai zaman
Nabi Muhammad, zaman klasik, pertengahan hingga zaman modern. Khazanah
ini merupakan modal kultural-intelektual yang luar biasa bagi NU untuk
berdialektika dengan modernitas.
Ketiga,
NU mempunyai lembaga pendidikan yang cukup mapan sebagai basis
transmisi keilmuan, yaitu pesantren. Dengan berbagai kekhasan dan
subkulturnya, pesantren terbukti mampu bertahan dalam masyarakat yang
terus berubah. Meski banyak kritik yang ditujukan kepada lembaga
pendidikan tradisional ini, seperti kepemimpinan kyai yang amat
kharismatik, tidak menumbuhkan kritisisme santri, pengajarannya tidak
terprogram dan sebagainya, pesantren mempunyai kekuatannya sendiri
berupa “nilai” yang tidak dimiliki lembaga lain.
Sumber : NU.COM dan Sumber Lain
0 Comments:
Posting Komentar