Mengenal Filsafat Mulla Shadra

sumber gambar http://suficinta.wordpress.com/
Mengapa orang modern susah bahagia padahal materi berkelimpahan? Hal ini karena untuk proposisi “aku ingin bahagia”, kebanyakan orang modern fokus memikirkan “bahagia” dibanding “aku”. Krisis manusia modern terjadi karena mereka tidak berpikir tuntas bahkan mereka lupa memikirkan dirinya sendiri. Di sinilah letak posisi filsafat. Filsafat merupakan upaya memikirkan berbagai hal secara menyeluruh atau holistik.

Filsafat Islam sendiri berkembang setelah berlangsungnya futuhat atau pembebasan. Dengan meluasnya wilayah Islam, umat Islam mulai bersentuhan dengan pemikiran asing seperti Yunani dan Persia. Para filosof muslim dahulu merupakan filosof yang percaya diri menghadapi berbagai pemikiran asing. Mereka mempelajari namun tidak menerima mentah-mentah berbagai pemikiran tersebut.  Mereka selalu berupaya memodifikasi pemikiran yang masuk agar tidak bertentangan dengan Islam. Memang proyek terbesar para filosof muslim adalah menunjukkan adanya harmonisasi antara akal dan wahyu.
Hanya saja dalam buku-buku sejarah filsafat, sering ditulis rangkaian para filosof muslim dimulai dari Al Kindi dan diakhiri dengan Ibn Rusyd. Bila dikaji lebih detil, denyut filsafat Islam masih berdetak di Persia pascainvasi Mongol ke dunia Islam yang dianggap mematikan dinamika intelektual umat Islam. Tokoh yang terkenal di sana adalah Shadr Al Din Al Syirazi atau yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra.

Shadra membawa warna baru dalam sejarah filsafat Islam setelah Paripatetisme (masya’iyyah) yang memuncak pada Ibn Sina dan Iluminasionasisme (isyraqiyyah) yang berpuncak pada Suharawardi Al Maqtul. Warna baru pada filsafat Islam tersebut bernama Hikmah Muta’alliyah atau eksistensialisme (wujudiyah).

Hikmah Muta’alliyah sebenarnya pertama kali diperkenalkan oleh Dawud Al Qaisari dan telah dipakai oleh Ibn Sina dan Nasir Al Din Al Tusi. Namun Hikmah Muta’alliyah secara sistematik dieksplorasi baru oleh Shadra dalam kitabnya yang berjudul al Hikmah al Muta’alliyah fi al Asfar al Aqliyah al Arba’ah. Pun demikian istilah Hikmah Muta’alliyah sebagai mazhab filsafat diperkenalkan bukan oleh Shadra, namun oleh murid sekaligus menantunya yang bernama Abd Al Razaq Lahiji.

Shadra memandang hikmah dan filsafat itu sama atau identik. Filsafat merupakan upaya untuk meraih pengetahuan mengenai realitas sebagai mana adanya melalui burhan (pembuktian) bukan diturunkan dari opini atau dugaan. Sebagaimana para filosof muslim lainnya, Shadra juga beranggapan bahwa filosof adalah manusia yang sempurna yang kedudukannya berada setelah nabi dan imam (syiah).

Ke-Syiah-an Mulla Shadra terlihat dari sumber epistemik yang digunakannya yang memasukkan sabda-sabda para Imam Syiah dan Kalam Imamiyah di samping Al Quran dan Hadits (dalam terminologi Syiah). Selain itu, sumber epistemik Shadra juga memiliki akar pada filosof-filosof sebelumnya seperti Gnosis Akbarian (Ibn Arabi), Iluminnasionisme Suhrawadi, dan Filsafat Paripatetik dan Neoplatonisme lewat jalur Ibn Sina.

*Disarikan dari kuliah Studia Humanika Kajian Filsafat Mulla Shadra yang diadakan pada Jumat, 21 April 2012 di GSS Masjid Salman ITB.
sumber : /salmanitb.com

Posting Komentar

2 Komentar

Unknown mengatakan…
Assalamualaikum
Makalah yang luar biasa yang sangat menarik, bisakah di share jika ada link download kitab hikmah mutaaliyah - asfar aqliyah arbaah? Karena dari sekian banyak artikel yang saya baca hamper tidak ada yang merefer pada sumber aslinya, lebih banyak meng kompilasi dari ulasan bebrapa orang?
Atas share nya saya sampaikan terima kasih,

Salam,
Pencari…
Unknown mengatakan…
Assalamualaikum
Makalah yang luar biasa yang sangat menarik, bisakah di share jika ada link download kitab hikmah mutaaliyah - asfar aqliyah arbaah? Karena dari sekian banyak artikel yang saya baca hamper tidak ada yang merefer pada sumber aslinya, lebih banyak meng kompilasi dari ulasan bebrapa orang?
Atas share nya saya sampaikan terima kasih,

Salam,
Pencari…