Abu Bakar Ash-Shiddiiq (11-13 H)
Nama lengkap beliau adalah Abdullah
bin Utsman bin Amir bin Amru bin Ka`ab bin Sa`ad bin Taim bin Murrah bin Ka`ab
bin Lu`ai bin Ghalib bin Fihr al-Qurasy at-Taimi – radhiyallahu`anhu. Bertemu
nasabnya dengan Nabi pada kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Abu Bakar adalah
shahabat Rasulullah – shalallahu`alaihi was salam – yang telah menemani
Rasulullah sejak awal diutusnya beliau sebagai Rasul, beliau termasuk orang
yang awal masuk Islam. Abu Bakar memiliki julukan “ash-Shiddiq” dan “Atiq”.
Ada yang berkata bahwa Abu Bakar
dijuluki “ash-Shiddiq” karena ketika terjadi peristiwa isra` mi`raj,
orang-orang mendustakan kejadian tersebut, sedangkan Abu Bakar langsung
membenarkan.
Allah telah mempersaksikan
persahabatan Rasulullah dengan Abu Bakar dalam Al-Qur`an, yaitu dalam
firman-Nya : “…sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada
dalam gua, di waktu dia berkata kepada sahabatnya: `Janganlah kamu berduka
cita, sesungguhnya Allah beserta kita’.” (QS at-Taubah : 40)
`Aisyah, Abu Sa’id dan Ibnu Abbas
dalam menafsirkan ayat ini mengatakan : “Abu Bakar-lah yang mengiringi Nabi
dalam gua tersebut.”
Allah juga berfirman : “Dan orang
yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang
bertakwa.” (az-Zumar : 33)
Al-Imam adz-Dzahabi setelah
membawakan ayat ini dalam kitabnya al-Kabaa`ir, beliau meriwayatkan bahwa
Ja`far Shadiq berujar :”Tidak ada perselisihan lagi bahwa orang yang datang
dengan membawa kebenaran adalah Rasulullah, sedangkan yang membenarkannya
adalah Abu Bakar. Masih adakah keistimeaan yang melebihi keistimeaannya di
tengah-tengah para Shahabat?”
Dari Amru bin al-Ash
radhiyallahu`anhu, bahwa Rasulullah mengutusnya atas pasukan Dzatus Salasil :
“Aku lalu mendatangi beliau dan bertanya “Siapa manusia yang paling engkau
cintai?” beliau bersabda :”Aisyah” aku berkata : “kalau dari lelaki?” beliau
menjawab : “ayahnya (Abu Bakar)” aku berkata : “lalu siapa?” beliau menjawab:
“Umar” lalu menyebutkan beberapa orang lelaki.” (HR.Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya Allah telah
menjadikanku sebagai kekasih-Nya, sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai
kekasih-Nya. Dan kalau saja aku mengambil dari umatku sebagai kekasih, akan aku
jadikan Abu Bakar sebagai kekasih.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Sa`id radhiyallahu`anhu,
bahwa Rasulullah duduk di mimbar, lalu bersabda :”Sesungguhnya ada seorang
hamba yang diberi pilihan oleh Allah, antara diberi kemewahan dunia dengan apa
yang di sisi-Nya. Maka hamba itu memilih apa yang di sisi-Nya” lalu Abu bakar
menangis dan menangis, lalu berkata :”ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu” Abu
Sa`id berkata : “yang dimaksud hamba tersebut adalah Rasulullah, dan Abu Bakar
adalah orang yang paling tahu diantara kami” Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya orang yang paling banyak memberikan perlindungan kepadaku dengan
harta dan persahabatannya adalah Abu Bakar. Andaikan aku boleh mengambil
seorang kekasih (dalam riwayat lain ada tambahan : “selain rabb-ku”), niscaya
aku akan mengambil Abu Bakar sebagai kekasihku. Tetapi ini adalah persaudaraan
dalam Islam. Tidak ada di dalam masjid sebuah pintu kecuali telah ditutup,
melainkan hanya pintu Abu Bakar saja (yang masih terbuka).” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya
Allah telah mengutusku kepada kalian semua. Namun kalian malah berkata `kamu
adalah pendusta’. Sedangkan Abu Bakar membenarkan (ajaranku). Dia telah
membantuku dengan jiwa dan hartanya. Apakah kalian akan meninggalkan aku
(dengan meninggalkan) shahabatku?” Rasulullah mengucapkan kalimat itu 2 kali.
Sejak itu Abu bakar tidak pernah disakiti (oleh seorangpun dari kaum muslimin).
(HR. Bukhari)
Masa Kekhalifahan
Dalam riwayat al-Bukhari
diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu`anha, bahwa ketika Rasulullah wafat, Abu
Bakar datang dengan menunggang kuda dari rumah beliau yang berada di daerah
Sunh. Beliau turun dari hewan tunggangannya itu kemudian masuk ke masjid.
Beliau tidak mengajak seorang pun untuk berbicara sampai akhirnya masuk ke
dalam rumah Aisyah. Abu Bakar menyingkap wajah Rasulullah yang ditutupi dengan
kain kemudian mengecup keningnya. Abu Bakar pun menangis kemudian berkata :
“demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, Allah tidak akan menghimpun dua
kematian pada dirimu. Adapun kematian yang telah ditetapkan pada dirimu,
berarti engkau memang sudah meninggal.”Kemudian Abu Bakar keluar dan Umar
sedang berbicara dihadapan orang-orang. Maka Abu Bakar berkata : “duduklah
wahai Umar!” Namun Umar enggan untuk duduk. Maka orang-orang menghampiri Abu
Bakar dan meninggalkan Umar. Abu Bakar berkata : “Amma bad`du, barang siapa
diantara kalian ada yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah
mati. Kalau kalian menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan
tidak akan pernah mati. Allah telah berfirman :
“Muhammad itu tidak lain hanyalah
seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah
Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa
yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada
Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur.” (QS Ali Imran : 144)
Ibnu Abbas radhiyallahu`anhuma
berkata : “demi Allah, seakan-akan orang-orang tidak mengetahui bahwa Allah
telah menurunkan ayat ini sampai Abu Bakar membacakannya. Maka semua orang
menerima ayat Al-Qur`an itu, tak seorangpun diantara mereka yang mendengarnya
melainkan melantunkannya.”
Sa`id bin Musayyab rahimahullah
berkata : bahwa Umar ketika itu berkata : “Demi Allah, sepertinya aku baru
mendengar ayat itu ketika dibaca oleh Abu Bakar, sampai-sampai aku tak kuasa
mengangkat kedua kakiku, hingga aku tertunduk ke tanah ketika aku mendengar Abu
Bakar membacanya. Kini aku sudah tahu bahwa nabi memang sudah meninggal.”
Dalam riwayat al-Bukhari lainnya,
Umar berkata : “maka orang-orang menabahkan hati mereka sambil tetap
mengucurkan air mata. Lalu orang-orang Anshor berkumpul di sekitar Sa`ad bin
Ubadah yang berada di Saqifah Bani Sa`idah” mereka berkata : “Dari kalangan
kami (Anshor) ada pemimpin, demikian pula dari kalangan kalian!” maka Abu
Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarroh mendekati mereka. Umar mulai bicara,
namun segera dihentikan Abu Bakar. Dalam hal ini Umar berkata : “Demi Allah,
yang kuinginkan sebenarnya hanyalah mengungkapkan hal yang menurutku sangat
bagus. Aku khawatir Abu Bakar tidak menyampaikannya” Kemudian Abu Bakar bicara,
ternyata dia orang yang terfasih dalam ucapannya, beliau berkata : “Kami adalah
pemimpin, sedangkan kalian adalah para menteri.” Habbab bin al-Mundzir
menanggapi : “Tidak, demi Allah kami tidak akan melakukannya, dari kami ada
pemimpin dan dari kalian juga ada pemimpin.” Abu Bakar menjawab : “Tidak, kami
adalah pemimpin, sedangkan kalian adalah para menteri. Mereka (kaum Muhajirin)
adalah suku Arab yang paling adil, yang paling mulia dan paling baik nasabnya.
Maka baiatlah Umar atau Abu Ubaidah bin al-Jarroh.”Maka Umar menyela : “Bahkan
kami akan membai`atmu. Engkau adalah sayyid kami, orang yang terbaik diantara
kami dan paling dicintai Rasulullah.” Umar lalu memegang tangan Abu Bakar dan
membai`atnya yang kemudian diikuti oleh orang banyak. Lalu ada seorang yang
berkata : “kalian telah membunuh (hak khalifah) Sa`ad (bin Ubadah).” Maka Umar
berkata : “Allah yang telah membunuhnya.” (Riwayat Bukhari)
Menurut `ulama ahli sejarah, Abu
Bakar menerima jasa memerah susu kambing untuk penduduk desa. Ketika beliau
telah dibai`at menjadi khalifah, ada seorang wanita desa berkata : “sekarang
Abu Bakar tidak akan lagi memerahkan susu kambing kami.” Perkataan itu didengar
oleh Abu Bakar sehingga dia berkata : “tidak, bahkan aku akan tetap menerima
jasa memerah susu kambing kalian. Sesungguhnya aku berharap dengan jabatan yang
telah aku sandang sekarang ini sama sekali tidak merubah kebiasaanku di masa
silam.” Terbukti, Abu Bakar tetap memerahkan susu kambing-kambing mereka.
Ketika Abu Bakar diangkat sebagai
khalifah, beliau memerintahkan Umar untuk mengurusi urusan haji kaum muslimin.
Barulah pada tahun berikutnya Abu Bakar menunaikan haji. Sedangkan untuk ibadah
umroh, beliau lakukan pada bulan Rajab tahun 12 H. beliau memasuki kota Makkah
sekitar waktu dhuha dan langsung menuju rumahnya. Beliau ditemani oleh beberapa
orang pemuda yang sedang berbincang-bincang dengannya. Lalu dikatakan kepada
Abu Quhafah (Ayahnya Abu Bakar) : “ini putramu (telah datang)!”
Maka Abu Quhafah berdiri dari
tempatnya. Abu Bakar bergegas menyuruh untanya untuk bersimpuh. Beliau turun
dari untanya ketika unta itu belum sempat bersimpuh dengan sempurna sambil
berkata : “wahai ayahku, janganlah anda berdiri!” Lalu Abu Bakar memeluk Abu
Quhafah
dan mengecup keningnya. Tentu saja
Abu Quhafah menangis sebagai luapan rasa bahagia dengan kedatangan putranya
tersebut.
Setelah itu datanglah beberapa
tokoh kota Makkah seperti Attab bin Usaid, Suhail bin Amru, Ikrimah bin Abi
Jahal, dan al-Harits bin Hisyam. Mereka semua mengucapkan salam kepada Abu
Bakar : “Assalamu`alaika wahai khalifah Rasulullah!” mereka semua menjabat
tangan Abu Bakar. Lalu Abu Quhafah berkata : “wahai Atiq (julukan Abu Bakar),
mereka itu adalah orang-orang (yang baik). Oleh karena itu, jalinlah
persahabatan yang baik dengan mereka!” Abu Bakar berkata : “Wahai ayahku, tidak
ada daya dan upaya kecuali hanya dengan pertolongan Allah. Aku telah diberi
beban yang sangat berat, tentu saja aku tidak akan memiliki kekuatan untuk
menanggungnya kecuali hanya dengan pertolongan Allah.” Lalu Abu Bakar berkata :
“Apakah ada orang yang akan mengadukan sebuah perbuatan dzalim?” Ternyata tidak
ada seorangpun yang datang kepada Abu Bakar untuk melapor sebuah kedzaliman.
Semua orang malah menyanjung pemimpin mereka tersebut.
Wafatnya
Menurut para `ulama ahli sejarah
Abu Bakar meninggal dunia pada malam selasa, tepatnya antara waktu maghrib dan
isya pada tanggal 8 Jumadil awal 13 H. Usia beliau ketika meninggal dunia
adalah 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma` binti
Umais, istri beliau. Kemudian beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah.
Umar mensholati jenazahnya diantara makam Nabi dan mimbar (ar-Raudhah).
Sedangkan yang turun langsung ke dalam liang lahat adalah putranya yang bernama
Abdurrahman (bin Abi Bakar), Umar, Utsman, dan Thalhah bin Ubaidillah.
Sumber :
-Al-Bidayah wan Nihayah, Masa
Khulafa’ur Rasyidin Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu
Katsir. - Shifatush-Shofwah karya Ibnul Jauzi. Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah
-Al-Kabaa`ir karya Adz-Dzahabi.
‘Umar bin al-Khaththab (wafat 23 H)
Nama lengkapnya adalah Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Izzy bin
Rabah bin Qirath bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Luay al-Quraisy al-‘Adawy.
Terkadang dipanggil dengan Abu Hafash dan digelari dengan al-Faruq. Ibunya
bernama Hantimah binti Hasyim bin al-Muqhirah al-Makhzumiyah.
Awal Keislamanya.
Umar masuk Islam ketika para penganut Islam kurang lebih sekitar 40
(empat puluh) orang terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Imam Tirmidzi, Imam Thabrani dan Hakim telah meriwayatkan dengan riwayat
yang sama bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam telah berdo’a,” Ya Allah,
muliakanlah agama Islam ini dengan orang yang paling Engkau cintai diantara
kedua orang ini, yaitu Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam.”.
Berkenaan dengan masuknya Umar bin al-Khaththab ke dalam Islam yang
diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad yang diungkap oleh Imam Suyuti dalam kitab “
Tarikh al-Khulafa’ ar-Rasyidin” sebagai berikut:
Anas bin Malik berkata:” Pada suatu hari Umar keluar sambil menyandang
pedangnya, lalu Bani Zahrah bertanya” Wahai Umar, hendak kemana engkau?,” maka
Umar menjawab, “ Aku hendak membunuh Muhammad.” Selanjutnya orang tadi
bertanya:” Bagaimana dengan perdamaian yang telah dibuat antara Bani Hasyim
dengan Bani Zuhrah, sementara engkau hendak membunuh Muhammad”.
Lalu orang tadi berkata,” Tidak kau tahu bahwa adikmu dan saudara iparmu
telah meninggalkan agamamu”. Kemudian Umar pergi menuju rumah adiknya
dilihatnya adik dan iparnya sedang membaca lembaran Al-Quran, lalu Umar
berkata, “barangkali keduanya benar telah berpindah agama”,. Maka Umar melompat
dan menginjaknya dengan keras, lalu adiknya (Fathimah binti Khaththab) datang
mendorong Umar, tetapi Umar menamparnya dengan keras sehingga muka adiknya
mengeluarkan darah.
Kemudian Umar berkata: “Berikan lembaran (al-Quran) itu kepadaku, aku
ingin membacanya”, maka adiknya berkata.” Kamu itu dalam keadaan najis tidak
boleh menyentuhnya kecuali kamu dalam keadaan suci, kalau engaku ingin tahu
maka mandilah (berwudhulah/bersuci).”. Lalu Umar berdiri dan mandi (bersuci)
kemudian membaca lembaran (al-Quran) tersebut yaitu surat Thaha sampai ayat,”
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhanselain Aku, maka sembahlah
Aku dirikanlah Shalat untuk mengingatku.” (Qs.Thaha:14). Setelah itu Umar
berkata,” Bawalah aku menemui Muhammad.”.
Mendengar perkataan Umar tersebut langsung Khabbab keluar dari
sembunyianya seraya berkata:”Wahai Umar, aku merasa bahagia, aku harap do’a
yang dipanjatkan Nabi pada malam kamis menjadi kenyataan, Ia (Nabi) berdo’a “Ya
Allah, muliakanlah agama Islam ini dengan orang yang paling Engkau cintai
diantara kedua orang ini, yaitu Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal ‘Amr bin
Hisyam.”.
Lalu Umar berangkat menuju tempat Muhammad Shallallahu alaihi wassalam,
didepan pintu berdiri Hamzah, Thalhah dan sahabat lainnya. Lalu Hamzah seraya
berkata,” jika Allah menghendaki kebaikan baginya, niscaya dia akan masuk
Islam, tetapi jika ada tujuan lain kita akan membunuhnya”. Lalu kemudian Umar
menyatakan masuk Islam dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.
Lalu bertambahlah kejayaan Islam dan Kaum Muslimin dengan masuknya Umar
bin Khaththab, sebagaimana ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Mas’ud,
seraya berkata,” Kejayaan kami bertambah sejak masuknya Umar.”.
Umar turut serta dalam peperangan yang dilakukan bersama Rasulullah, dan
tetap bertahan dalam perang Uhud bersama Rasulullah sebagaimana dijelaskan oleh
Imam Suyuthi dalam “Tarikh al-Khulafa’ar Rasyidin”.
Rasulullah memberikan gelar al-Faruq kepadanya, sebagaimana ini
diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Dzakwan, seraya dia berkata,” Aku telah
bertanya kepada Aisyah, “ Siapakah yang memanggil Umar dengan nama al-Faruq?”,
maka Aisyah menjawab “Rasulullah”.
Hadist Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:” Sungguh
telah ada dari umat-umat sebelum kamu para pembaharu, dan jika ada pembaharu dari
umatku niscaya ‘Umarlah orangnya”. Hadist ini dishahihkan oleh Imam Hakim.
Demikian juga Imam Tirmidzi telah meriwayatkan dari Uqbah bin Amir bahwa Nabi
bersabda,” Seandainya ada seorang Nabi setelahku, tentulah Umar bin
al-Khaththab orangnya.”.
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar dia berkata,” Nabi telah
bersabda:”Sesungguhnya Allah telah mengalirkan kebenaran melalui lidah dan hati
Umar”. Anaknya Umar (Abdullah) berkata,” Apa yang pernah dikatakan oleh ayahku
(Umar) tentang sesuatu maka kejadiannya seperti apa yang diperkirakan oleh
ayahku”.
Keberaniannya
Riwayat dari Ibnu ‘Asakir telah meriwayatkan dari Ali, dia berkata,” Aku
tidak mengetahui seorangpun yang hijrah dengan sembunyi sembunyi kecuali Umar
bi al-Khaththab melakukan dengan terang terangan”. Dimana Umar seraya
menyandang pedang dan busur anak panahnya di pundak lalu dia mendatangi Ka’bah
dimana kaum Quraisy sedang berada di halamannya, lalu ia melakukan thawaf
sebanyak 7 kali dan mengerjakan shalat 2 rakaat di maqam Ibrahim.
Kemudian ia mendatangi perkumpulan mereka satu persatu dan berkata,”
Barang siapa orang yang ibunya merelakan kematiannya, anaknya menjadi yatim dan
istrinya menjadi janda, maka temuilah aku di belakang lembah itu”. Kesaksian
tersebut menunjukan keberanian Umar bin Khaththab Radhiyallahu’Anhu.
Wafatnya
Pada hari rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H ia wafat, ia ditikam ketika
sedang melakukan Shalat Subuh beliau ditikam oleh seorang Majusi yang bernama
Abu Lu’luah budak milik al-Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah
dari kalangan Majusi. Umar dimakamkan di samping Nabi dan Abu Bakar ash
Shiddiq, beliau wafat dalam usia 63 tahun.
Disalin dari Biografi Umar Ibn
Khaththab dalam Tahbaqat Ibn Sa’ad, Tarikh al-Khulafa’ar Rasyidin Imam Suyuthi
Utsman bin ‘Affan (Wafat 35 H)
Nama lengkapnya adalah ‘Utsman bin Affanbin Abi Ash bin Umayah bin Abdi
Syams bin Abdi Manaf al Umawy al Qurasy, pada masa Jahiliyah ia dipanggil
dengan Abu ‘Amr dan pada masa Islam nama julukannya (kunyah) adalah Abu
‘Abdillah. Dan juga ia digelari dengan sebutan “Dzunnuraini”, dikarenakan
beliau menikahi dua puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yaitu
Ruqayah dan Ummu Kaltsum. Ibunya bernama Arwa’ bin Kuraiz bin Rabi’ah bin Habib
bin ‘Abdi Syams yang kemudian menganut Islam yang baik dan teguh.
Keutamaannya
Imam Muslim telah meriwayatkan dari ‘Aisyah, seraya berkata,” Pada suatu
hari Rasulullah sedang duduk dimana paha beliau terbuka, maka Abu Bakar meminta
izin kepada beliau untuk menutupinya dan beliau mengizinkannya, lalu paha
beliau tetap dalam keadaan semula (terbuka). Kemudian Umar minta izin untuk
menutupinya dan beliau mengizinkannnya, lalu paha beliau tetap dalam keadaan
semula (terbuka), ketika Utsman meminta izin kepada beliau, amaka beliau
melepaskan pakaiannya (untuk menutupi paha terbuka). Ketika mereka telah pergi,
maka aku (Aisyah) bertanya,”Wahai Rasulullah, Abu Bakar dan Umar telah meminta
izin kepadamu untuk menutupinya dan engkau mengizinkan keduanya, tetapi engkau
tetap berada dalam keadaan semula (membiarkan pahamu terbuka), sedangkan ketika
Utsman meminta izin kepadamu, maka engkau melepaskan pakainanmu (dipakai untuk
menutupinya). Maka Rasulullah menjawab,” Wahai Aisyah, Bagaimana aku tidak
merasa malu dari seseorang yang malaikat saja merasa malu kepadanya”.
Ibnu ‘Asakir dan yang lainnya menjelaskan dalam kitab “Fadhail ash
Shahabah” bahwa Ali bin Abi Thalib ditanya tentang Utsman, maka beliau
menjawab,” Utsman itu seorang yang memiliki kedudukan yang terhormat yang
dipanggil dengan Dzunnuraini, dimana Rasulullah menikahkannya dengan kedua
putrinya.
Perjalanan hidupnya
Perjalanan hidupnya yang tidak pernah terlupakan dalam sejarah umat
islam adalah beliau membukukan Al-Qura’an dalam satu versi bacaan dan membuat
beberapa salinannya yang dikirim kebeberapa negeri negeri Islam. Serta
memerintahkan umat Islam agar berpatokan kepadanya dan memusnahkan mushaf yang
dianggap bertentangan dengan salinan tersebut. Atas Izin allah Subhanahu wa
ta’ala, melalui tindakan beliau ini umat Islam dapat memelihara ke autentikan
Al-Qur’an samapai sekarang ini. Semoga Allah membalasnya dengan balasan yang
terbaik.
Diriwayatkan dari oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnadnya dari
yunus bahwa ketika al Hasan ditanya tentang orang yang beristirahat pada waktu
tengah hari di masjid ?. maka ia menjawab,”Aku melihat Utsman bin Affan
beristirahat di masjid, padahal beliau sebagai Khalifah, dan ketika ia berdiri
nampak sekali bekas kerikil pada bagian rusuknya, sehingga kami berkata,” Ini
amirul mukminin, Ini amirul mukminin..”
Diriwayatkan oleh Abu Na’im dalam kitabnya “Hulyah al Auliyah” dari Ibnu
Sirin bahwa ketika Utsman terbunuh, maka isteri beliau berkata,” Mereka telah
tega membunuhnya, padahal mereka telah menghidupkan seluruh malam dengan
Al-Quran”.
Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, seraya ia
berkata dengan firman Allah”. “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih
beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang
dapat menerima pelajaran.” (Qs Az-Zumar:9) yang dimaksud adalah Utsman bin
Affan.
WafatnyaIa wafat pada tahun 35 H pada pertengahan tasyriq tanggal 12
Dzul Hijjah, dalam usia 80 tahun lebih, dibunuh oleh kaum pemberontak
(Khawarij).
Diringkas dari Biografi Utsman bin
affan dalam kitab Al ‘ilmu wa al Ulama Karya Abu Bakar al Jazairy. Penerbit
Daar al Kutub as Salafiyyah. Cairo. ditulis tanggal 5 Rab’ul Awal di Madinah al
Nabawiyah.
Ali bin Abi Thalib
Khalifah keempat (terakhir) dari al-Khulafa’ ar-Rasyidun (empat khalifah
besar); orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak; sepupu Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam yang kemudian menjadi menantunya. Ayahnya, Abu
Talib bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abd Manaf, adalah kakak kandung ayah
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, Abdullah bin Abdul Muttalib. Ibunya bernama
Fatimah binti As’ad bin Hasyim bin Abd Manaf. Sewaktu lahir ia diberi nama
Haidarah oleh ibunya. Nama itu kemudian diganti ayahnya dengan Ali.
Ketika berusia 6 tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam, sebagaimana Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
pernah diasuh oleh yahnya. ada waktu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
diangkat menjadi rasul, Ali baru menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua
yang menerima dakwah Islam, setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam. Sejak itu ia
selalu bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, taat kepadanya,
dan banyak menyaksikan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menerima wahyu.
Sebagai anak asuh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, ia banyak menimba
ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara
teoretis dan praktis.
Sewaktu Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam hijrah ke Madinah bersama Abu
Bakar as-Siddiq, Ali diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam dan tidur di tempat tidurnya. Ini dimaksudkan untuk
memperdaya kaum Kuraisy, supaya mereka menyangka bahwa Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam masih berada di rumahnya. Ketika itu kaum quraisy merencanakan untuk
membunuh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Ali juga ditugaskan untuk
mengembalikan sejumlah barang
titipan kepada pemilik masing-masing. Ali mampu melaksanakan tugas yang
penuh resiko itu dengan sebaik-baiknya tanpa sedikit pun merasa takut. Dengan
cara itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan Abu Bakar selamat
meninggalkan kota Mekah tanpa diketahui oleh kaum Kuraisy.
Setelah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan Abu Bakar
telah sampai ke Madinah, Ali pun menyusul ke sana. Di Madinah, ia dikawinkan
dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, yang
ketika itu (2 H) berusia 15 tahun. Ali menikah dengan 9 wanita dan mempunyai 19
orang putra-putri. Fatimah adalah istri pertama. Dari Fatimah, Ali mendapat dua
putra dan dua putri, yaitu Hasan, Husein, Zainab, dan Ummu Kulsum yang kemudian
diperistri oleh Umar bin Khattab. Setelah Fatimah wafat, Ali menikah lagi
berturut-turut dengan:
Ummu Bamin binti Huzam dari Bani Amir bin Kilab, yang melahirkan empat
putra, yaitu Abbas, Ja’far, Abdullah, dan Usman. Laila binti Mas’ud
at-Tamimiah, yang melahirkan dua putra, yaitu Abdullah dan
Abu Bakar. Asma binti Umair al-Kuimiah, yang melahirkan dua putra, yaitu
Yahya dan Muhammad.
As-Sahba binti Rabi’ah dari Bani Jasym bin Bakar, seorang janda dari
Bani Taglab, yang melahirkan dua nak, Umar dan Ruqayyah; Umamah binti Abi Ass
bin ar-Rabb, putri Zaenab binti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, yang
melahirkan satu anak, yaitu Muhammad. Khanlah binti Ja’far al-Hanafiah, yang
melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad (al-Hanafiah). Ummu Sa’id binti Urwah
bin Mas’ud, yang melahirkan dua anak, yaitu Ummu al-Husain dan Ramlah. Mahyah
binti Imri’ al-Qais al-Kalbiah, yang melahirkan seorang anak bernama Jariah.
Ali dikenal sangat sederhana dan zahid dalam kehidupan sehari-hari. Tidak
tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah
diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana itu bukan hanya diterapkan
kepada dirinya, melainkanj uga kepada putra-putrinya.
Ali terkenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya
menggetarkan hati lawan-lawannya. Ia mempunyai sebilah pedang (warisan
dari Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam) bernama “Zul Faqar”. Ia turut-serta pada
hampir semua peperangan yang terjadi di masa Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
dan selalu menjadi andalan pada barisan terdepan.
Ia juga dikenal cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan secara
mendalam, sebagaimana tergambar dari sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam,
“Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali pintu gerbangnya.” Karena itu, nasihat
dan fatwanya selalu didengar para khalifah sebelumnya. Ia selalu ditempatkan
pada jabatan kadi atau mufti. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam
wafat, Ali menunggui jenazahnya dan mengurus pemakamannya, sementara
sahabat-sahabat lainnya sibuk memikirkan soal pengganti Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam. Setelah Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pengganti Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam dalam mengurus negara dan umat Islam, Ali tidak
segera membaiatnya. Ia baru membaiatnya beberapa bulan kemudian.
Pada akhir masa pemerintahan Umar bin Khattab, Ali termasuk salah
seorang yang ditunjuk menjadi anggota Majlis asy-Syura, suatu forum yang
membicarakan soal penggantian khalifah. Forum ini beranggotakan enam orang.
Kelima orang lainnya adalah Usman bin Affan, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin
Awwam, Sa’d bin Abi Waqqas, dan Abdur Rahman bin Auf. Hasil musyawarah
menentukan Usman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khattab.
Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, Ali banyak mengeritik
kebijaksanaannya yang dinilai terlalu memperhatikan kepentingan keluarganya
(nepotisme). Ali menasihatinya agar bersikap tegas terhadap kaum kerabatnya
yang melakukan penyelewengan dengan mengatasnamakan dirinya. Namun, semua
nasihat itu tidak diindahkannya. Akibatnya, terjadilah suatu peristiwa berdarah
yang berakhir
dengan terbunuhnya Usman.
Kritik Ali terhadap Usman antara lain menyangkut Ubaidillah bin Umar,
yang menurut Ali harus dihukum hadd (beberapa jenis hukuman dalam fikih)
sehubungan dengan pembunuhan yang dilakukannya terhadap Hurmuzan. Usman juga
dinilai keliru ketika ia tidak melaksanakan hukuman cambuk terhadap Walib bin
Uqbah yang kedapatan mabuk. Cara Usman memberi hukuman kepada Abu Zarrah juga
tidak disetujui Ali.
Usman meminta bantuan kepada Ali ketika ia sudah dalam keadaan terdesak
akibat protes dan huru-hara yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak setuju
kepadanya. Sebenarnya, ketika rumah Usman dikepung oleh kaum pemberontak, Ali
memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husein, untuk membela Usman. Akan
tetapi karena pemberontak berjumlah besar dan sudah kalap, Usman tidak dapat
diselamatkan.
Segera setelah terbunuhnya Usman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali
untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada
lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Usman. Mendengar
permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini
adalah
perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para
pejuang Perang Badr.”
Dalam suasana yang masih kacau, akhirnya Ali dibaiat. Pembaiatan dimulai
oleh sahabat-sahabat besar, yaitu Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’d
bin Abi Waqqas, dan para sahabat lainnya. Mereka diikuti oleh rakyat banyak.
Pembaiatan dilakukan pada tanggal 25 Zulhijah 33 di Masjid Madinah seperti
pembaiatan para khalifah pendahulunya. Segera setelah dibaiat, Ali
mengambil langkah-langkah politik, yaitu:
Memecat para pejabat yang diangkat Usman, termasuk di dalamnya beberapa
gubernur, dan menunjuk penggantinya. Mengambil tanah yang telah
dibagikan Usman kepada keluarga dan kaum kerabatnya tanpa alasan kedudukan
sebagai khalifah sampai terbunuh pada tahun 661.
Pemberontakan ketiga datang dari Aliran Khawarij, yang semula merupakan
bagian dari pasukan Ali dalam menumpas pemberontakan Mu’awiyah, tetapi kemudian
keluar dari barisan Ali karena tidak setuju atas sikap Ali yang menerima
tawaran berdamai dari pihak Mu’awiyah. Karena mereka keluar dari barisan Ali,
mereka disebut “Khawarij” (orang-orang yang keluar). Jumlah mereka ribuan
orang. Dalam keyakinan mereka, Ali adalah amirulmukminin dan mereka yang setuju
untuk bertahkim telah melanggar ajaran agama. Menurut mereka, hanya Tuhan yang
berhak menentukan hukum, bukan manusia. Oleh sebab itu, semboyan mereka adalah
Id hukma ilia bi Allah (tidak ada hukum kecuali bagi Allah). Ali dan sebagian
pasukannya dinilai telah berani membuat keputusan hukum, yaitu berunding dengan
lawan. Kelompok Khawarij menyingkir ke Harurah, sebuah desa dekat Kufah. Mereka
mengangkat pemimpin sendiri, yaitu Syibis bin Rub’it at-Tamimi sebagai panglima
angkatan perang dan Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan.
Di Harurah mereka segera menyusun kekuatan untuk menggempur Ali dan orang-orang
yang menyetujui tahkim, termasuk di dalamnya Mu’awiyah, Amr bin As, dan Abu
Musa al-Asy’ari. Kegagalan Ali dalam tahkim menambah semangat mereka untuk
mewujudkan maksud mereka.
Posisi Ali menjadi serba sulit. Di satu pihak, ia ingin menghancurkan Mu’awiyah
yang semakin kuat di Syam; di pihak lain, kekuatan Khawarij akan menjadi sangat
berbahaya jika tidak segera ditumpas. Akhirnya Ali mengambil keputusan untuk
menumpas kekuatan Khawarij terlebih dahulu, baru kemudian menyerang Syam.
Tetapi tercurahnya perhatian Ali untuk menghancurkan kelompok Khawarij
dimanfaatkan Mu’awiyah untuk merebut Mesir.
Pertempuran sengit antara pasukan Ali dan pasukan Khawarij terjadi di
Nahrawan (di sebelah timur Baghdad) pada tahun 658, dan berakhir dengan
kemenangan di pihak Ali. Kelompok Khawarij berhasil dihancurkan, hanya sebagian
kecil yang dapat meloloskan diri. Pemimpin mereka, Abdullah bin Wahhab
ar-Rasibi, ikut terbunuh.
Sejak itu, kaum Khawarij menjadi lebih radikal. Kekalahan di Nahrawan
menumbuhkan dendam di hati mereka. Secara diam-diam kaum Khawarij merencanakan
untuk membunuh tiga orang yang dianggap sebagai biang keladi perpecahan umat,
yaitu Ali, Mu’awiyah, dan Amr bin As. Pembunuhnya ditetapkan tiga orang, yaitu:
Abdur Rahman bin Muljam ditugaskan membunuh Ali di Kufah, Barak bin Abdillah
at-Tamimi ditugaskan membunuh Mu’awiyah di Syam, dan Amr bin Bakar at-Tamimi
ditugaskan pembunuh Amr bin As di Mesir. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil
menunaikan tugasnya. Ia menusuk Ali dengan pedangnya ketika Ali akan salat
subuh di Masjid Kufah. Ali mengembuskan napas terakhir setelah memegang tampuk
pimpinan sebagai khalifah selama lebih-kurang 4 tahun.
0 Comments:
Posting Komentar