Oleh
Akbar Zainudin
Motivator, penulis buku best seller Man Jadda Wajada
Apa yang Anda rasakan saat
menghadapi kemacetan setiap hari? Mungkin kita merasa jengkel, kesal, marah, lalu
sumpah serapah dan protes keras kita layangkan. Ditambah update status
di media sosial seperti Facebook dan Twitter menghiasi halaman
akun kita, tidak sadar menunjukkan wajah asli kita yang pengeluh dan pemarah.
Akhirnya, saat tiba di tempat
kerja, energi sudah habis oleh keluhan kita. Ya, mengeluh memang menghabiskan
energi. Beban hidup kita sudah berat, ditambah mengeluh, beban itu akan
bertambah dua kali beratnya.
Dalam hidup ini, ada hal-hal yang
bisa kita kendalikan dan ada pula hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.
Macet, hujan, panas adalah perkara yang tidak bisa kita kendalikan. Tapi
perasaan, emosi, pikiran adalah perkara yang bisa kita kendalikan. Kita tidak
bisa menghindari macet, tapi kita bisa mengontrol emosi, pikiran, dan perasaan
kita.
Saat macet di jalan, misalnya,
akan lebih baik digunakan untuk hal yang lebih berguna. Toh, masih bisa kita
gunakan untuk membaca, istirahat, update status, dan banyak hal lainnya.
Intinya, daripada mengeluhkan
keadaan yang memang sudah sulit, lebih baik mengerjakan hal lain yang lebih
produktif. Seiring berjalannya waktu, kemacetan itu pasti akan berlalu.
Jadi, apapun peristiwa yang
terjadi di sekitar kita, kita tetap memiliki kontrol atau kendali untuk
meresponsnya seperti apa. Respons atas peristiwa inilah yang pada akhirnya
menentukan hasil dan akibatnya seperti apa. Satu peristiwa bisa menghasilkan
banyak hal berbeda, tergantung respons kita atas peristiwa tersebut.
Saya mau contohkan satu peristiwa
yang sangat mungkin terjadi sehari-hari. Seorang ayah, sebut saja namanya
Irfan, suatu pagi sudah siap berangkat kerja dan berpakaian rapi. Tiba-tiba,
tanpa disengaja, Siska, anak perempuannya, menumpahkan kopi ke bajunya. Nah,
respons terhadap peristiwa ini bisa menghasilkan dua hal berbeda.
Respons pertama, dan sangat
mungkin terjadi, sang ayah marah besar. Siska sangat sedih, menangis
sesenggukan hingga saat jemputan datang ia belum siap. Tidak hanya memarahi
anak, sang ayah pun memarahi istrinya yang dibilang tidak becus mengurus anak.
Sang istri menjadi sakit hati dan ikut marah-marah.
Tidak berhenti sampai di situ,
karena jemputan sudah berangkat, sang ayah terpaksa mengantar Siska terlebih
dahulu ke sekolah. Untuk mengejar waktu, dia pun memacu mobilnya dengan cepat,
bahkan terkadang menerobos lampu merah. Karena melanggar aturan lalu lintas, ia
kemudian ditilang polisi, dan mesti membayar denda.
Belum lagi saat sampai di kantor,
hari itu seakan menjadi hari yang sangat berat bagi Irfan. Sudah datang
terlambat, terlambat pula mengikuti rapat penting dengan klien sehingga ia
kehilangan potensi pendapatan. Sungguh menjadi hari “sial”.
Dari cerita di atas, sebenarnya
siapa yang salah? Anaknya yang menumpahkan kopi, istrinya yang dianggap tidak
bisa mendidik anak? Polisi yang menangkapi orang yang melanggar lalu lintas?
Atau semua itu terjadi karena sikap Pak Irfan sendiri?
Tentu, semua itu terjadi karena
respons Pak Irfan sendiri. Mari kita ilustrasikan respons Pak Irfan yang
berbeda terhadap peristiwa yang sama. Alih-alih memarahi anak-istri, cukuplah
ia bilang, “Tidak apa-apa anakku, tapi lain kali kamu harus lebih hati-hati.”
Kemudian, ia segera mengganti
baju dan kembali bersiap-siap berangkat kerja. Siska tetap berangkat sekolah
dengan senang hati, ia pun tetap bisa menjaga hubungan baik dengan istrinya.
Satu peristiwa, dua respons berbeda, menghasilkan akibat yang berbeda pula.
Karena itu, respons kita terhadap peristiwa yang terjadi sangat menentukan
tingkat kebahagiaan kita.
Pada akhirnya, kebahagiaan adalah
tentang bagaimana kita mengelola pikiran dan perasaan kita. Kebahagiaan bukan
tentang banyaknya harta, tingginya jabatan, mewahnya rumah dan kendaraan,
ganteng, atau cantiknya pasangan, tetapi bagaimana kita bisa mensyukuri semua
pemberian Tuhan dengan baik, memaknainya dengan sikap positif, dan bagaimana
menjadikan apa yang kita miliki lebih bermanfaat bagi sesama.
Dengan begitu, hidup akan jauh lebih berisi, lebih
bermakna, dan lebih bermanfaat. Kelola pikiran dan perasaan Anda dengan baik,
dan hindarkan banyak mengeluh. Mulailah bersyukur dan memberi makna pada
kehidupan Anda. Salam Man Jadda Wajada.
0 Comments:
Posting Komentar