Filsafat Ilmu: Mencegah Fanatisme Keilmuan

Dalam buku Filsafat Ilmu karya Jujun S. Suriasumantri, ada anekdot bagus tentang bagaimana situasi dunia keilmuan pada umumnya. Ini adalah percakapan dengan ahli burung betet:
“Bagaimana membedakan burung betet betina dan burung betet jantan?” Kata si ahli burung betet, “Gampang, burung betet betina makan cacing jantan, burung betet jantan makan cacing betina.” Lalu pertanyaan lanjutan, “Lantas bagaimana membedakan cacing jantan dan cacing betina?” Dijawab kemudian, “Oh, jangan tanya saya, tanya ahli cacing.”

Contoh di atas mengandung dua perspektif, apakah itu suatu profesionalisme keilmuan, atau bisa juga fanatisme keilmuan. Keduanya sama-sama benar, tergantung bagaimana kita melihatnya.
Namun mari kita tengok sejarah jauh ke belakang, misalnya di era Yunani, Aristoteles adalah seorang polymath. Artinya, ia menguasai banyak hal sekaligus, sebanyak apa yang ia inginkan. Aristoteles justru kemudian berperan menciptakan pemilahan-pemilahan yang menjadi cikal bakal profesionalisme hari ini.
Ia membagi pengetahuan menjadi beragam mulai dari biologi, matematika, fisika, hingga yang paling abstrak: metafisika. Tujuan Aristoteles sederhana saja, ia ingin membuat masing-masing objek pengetahuan lebih mudah dikaji.
Bau profesionalisme mulai terkuak di Era Modern setelah Francis Bacon menyerukan suatu metode saintifik. Sejak itu ilmu pengetahuan menjadi berkembang dan tokoh-tokoh di bidang sains menjadi sedemikian dikenal luas.
Meski demikian, di belantara “profesionalisme” itu, kita masih bisa menemukan manusia polymath semacam Leonardo da Vinci dan Rene Descartes. Da Vinci adalah ilmuwan sekaligus seniman, sedang Rene Descartes adalah matematikawan sekaligus filsuf.
Mereka tidak mengidentifikasikan dirinya, hanya fokus pada menguak rahasia alam semesta.
Pada perkembangannya, filsuf menjadi berjalan sendiri, seniman berjalan sendiri, ilmuwan juga. Ketiganya menjadi otonom, mengidentifikasikan dirinya berbeda dari yang lain, bahkan tidak jarang menjadi gesekan kurang menyenangkan satu sama lain.
Hal itu ditambah lagi dengan dikotomi di dalamnya sendiri. Filsuf memecah diri jadi banyak aliran, seniman juga. Parahnya, ilmuwan juga.
Peran Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu bukanlah mata kuliah yang asing bagi kebanyakan universitas di Indonesia. Namun keberadaannya biasanya sebatas formalitas. Perhatian terhadap mata kuliah ini biasanya tidak sebesar mata kuliah yang dianggap berkaitan langsung dengan bidang jurusannya.
Filsafat ilmu pun dianggap hanya sebatas suplemen, atau lebih parahnya, hanya sekedar pelengkap total SKS. Tidak semua dosen yang diterjunkan juga punya kompetensi cukup untuk mengajar filsafat ilmu. Seorang kawan berkata, di kampusnya ada mata kuliah filsafat ilmu namun yang diajarkan ternyata statistika.
Filsafat ilmu belajar tentang hakikat keilmuan. Tentang darimana ilmu-ilmu berasal, yang dilacak mulai dari bagaimana manusia menyerap sumber pengetahuan itu sendiri. Misalnya, apakah pengetahuan yang benar itu jika menurut indra benar, atau menurut akal budi benar?
Pemahaman seperti ini sangat penting. Misalnya, dalam ilmu hukum, salah satu upaya hukum dalam pencarian fakta di proses peradilan adalah dengan menggali kesaksian. Kesaksian seorang saksi kita tidak bisa lacak secara indrawi, jelas karena pengalaman kita tidak sama dengan si saksi. Tapi kita bisa melacaknya dengan akal budi, dengan pertimbangan apakah kesaksian seorang saksi masuk akal atau tidak. Pada kasus ini, akal budi menjadi lebih penting dari pengindraan.
Banyak lagi pentingnya filsafat ilmu seperti menelusuri asal muasal sebuah ilmu darimana. Bagaimana proses terbentuknya sebuah pengetahuan, sehingga ia bisa berkembang menjadi ilmu, hingga menjadi ilmu pengetahuan yang kokoh dan mandiri.
Filsafat ilmu juga menelusuri asal muasal sebuah teori, paradigma, dan unsur-unsur lainnya yang membentuk bangunan ilmu pengetahuan. Termasuk diantaranya sebuah pertanyaan signifikan: Bisakah bangunan itu diruntuhkan?
Nggak hanya persoalan-persoalan di atas. Filsafat ilmu juga meneliti asal muasal keberbedaan pendapat diantara para ilmuwan. Misalnya, mengapa penelitian mengenai manusia, tidak bisa melulu menggunakan metode kuantitatif semisal angket, kuesioner, dan perhitungan-perhitungan lainnya? Ada anggapan, manusia terlalu unik untuk dikuantifikasi dan dibuat angka-angka. Manusia tidak bisa diperlakukan seperti itu –alam semesta mungkin saja bisa-, manusia seyogianya diteliti dengan cara melukiskan keunikannya. Yang ditonjolkan justru keberbedaan, bukan mencari pola kesamaan.

Mencegah Fanatisme Keilmuan
Dengan memahami filsafat ilmu, sama saja dengan melacak sejarah ilmu itu sendiri. Dengan memahami sejarah, kita bisa mengetahui bahwa sesuatu tidak terjadi dari ruang hampa. Ilmu fisika yang sedemikian canggih dan berkembangnya, awalnya bermula dari hipotesa-hipotesa sederhana seperti pernyataan “Alam semesta ini dari air”. Pun kita juga tahu bahwa semakin kesini, fisika itu sendiri mulai menyentuh wilayah-wilayah keilmuan lainnya seperti psikologi bahkan agama (lihat Fritjof Capra).
Pemahaman yang baik akan filsafat ilmu membuat seseorang terhindar dari sikap fanatisme keilmuan. Karena mengetahui betul bahwa sebuah ilmu saling menunjang, dan juga pada akhirnya harus punya faedah bagi kehidupan manusia.
Ini menjadi PR yang cukup sulit karena dalam keseharian, seringkali ada jurang besar antara kehidupan akademik dengan dunia keseharian.
Apa yang menjadi objek penelitian di kampus, berasal dari dunia keseharian, maka itu faedahnya harus dikembalikan lagi pada keseharian itu sendiri. Yang terakhir ini menjadi catatan penting untuk mereka yang masih berpikiran bahwa keilmuan adalah suatu akses penting untuk mencari uang (pragmatis).
Seperti slogan-slogan yang biasa kita lihat di pintu angkot, “Kuliah satu tahun langsung kerja. Absen bebas.”
Akhirul kata, sesungguhnya tidak ada yang salah dari seseorang yang mendalami satu ilmu sepanjang hidupnya. Dengan demikian ia bisa berbicara banyak tentangnya, dan memperoleh kedalaman tentang fenomena itu sendiri. Namun perlu diingat bahwa ilmu hanya berguna jika ia bisa dieksternalisasikan pada kehidupan dunia yang kita tinggali ini. Dan untuk bisa mengeksternalisasikan keilmuan kita, pertama-tama, yang paling sederhana, kita harus membuka diri –mata dan telinga lebar-lebar- pada dunia keseharian itu sendiri.

Oleh : Syarif Maulana (* klab filsafat Tobucil dan pengajar gitar klasik, tinggal di Bandung)

Posting Komentar

0 Komentar