DR KH
Abdullah Syukri Zarkasyi MA
Pimpinan
Pondok Modern Darussalam Gontor
Pengalaman adalah guru
yang baik. Ungkapan sarat makna ini membuka cakrawala kita agar menimba
sebanyak-banyaknya pengalaman dalam hidup ini. Ketika kita menginginkan
guru-guru yang baik dan memiliki kualitas mendidik yang mumpuni, maka kita
harus menempa dan mengembangkan kemampuan mereka dengan pengalaman-pengalaman
tingkat tinggi. Itulah yang selama ini kita lakukan di Gontor. Kita di sini
mendidik guru-guru dengan pengalaman memimpin, mendidik, mengajar, dan pelbagai
pengalaman lainnya yang luar biasa.
Dalam prosesnya,
pendidikan pengalaman ini mutlak memerlukan al-`idad (persiapan), baik
i`dad zady (bekal terbaik) maupun i`dad maddy (materi). Di sini,
para guru diajarkan agar setiap hendak keluar rumah selalu mengawali dengan
mengucap bismillahirrahmanirrahim. Guru mesti membaca doa. Meski tampak
sederhana, fenomena ini jarang berlaku di lembaga pendidikan umum. Kebanyakan
guru di lembaga-lembaga umum hanya merasa melaksanakan tugas untuk mendapatkan
gaji, sehingga aspek materialismenya kental sekali.
Di Gontor, guru-guru
mengajar dengan dua persiapan; pertama, i’dad zady, yaitu
sebaik-baik bekal adalah takwa. Kedua, i’dad maddy, yakni menguasai
materi yang akan diajarkan, menguasai keadaan murid di kelas, dan mata guru
awas dalam mengajar.
Pengalaman demi
pengalaman akan dirasakan. Ada murid nakal dan ada juga murid yang tidak
mengerti pelajaran yang diajarkan. Semua itu akan membentuk pengalaman
tersendiri bagi guru. Kenapa murid tidak masuk kelas? Kenapa pelajaran tidak
dimengerti oleh murid? Apa saya salah? Apakah murid tersebut butuh motivasi?
Guru memotivasi murid
yang seperti itu agar dia punya motivasi yang kuat dalam belajar. Sehingga, dia
mau mendengarkan dengan baik dan belajar dengan sungguh-sungguh. Di sini dapat
ditarik kesimpulan sederhana, bahwa sebetulnya jika suatu pendidikan tidak
berjalan dengan benar, berarti yang salah adalah guru. Guru tidak dibenarkan
berkata tidak mampu mengajar dan mendidik. Karena yang tidak mampu adalah
pengecut, tidak berani menangani, tidak punya keinginan menangani dan bersikap
masa bodoh.
Mendidik itu
membiasakan. Mendidik itu mengajar, memberikan tugas, dan membiasakan diri
melatih. Melatih belajar dan cara belajar dengan penuh kesabaran. Jika ada
murid yang sulit menghafal dan tidak faham, maka guru mesti mengajarinya
sedikit demi sedikit. Guru mesti memberi tahu murid tersebut agar membaca yang
ingin dihafal sebanyak mungkin, meski sampai 40 kali, niscaya dia akan hafal.
Begitu juga memahami pelajaran, Muthala’ah misalnya, dengan membaca
hingga 40 kali maka niscaya ia faham. Kadang-kadang pemahaman didapat dengan
sering membaca. Ketika masih belajar di Mesir, saya menemukan sebuah kata yang
awalnya tidak saya fahami, namun karena sering membacanya akhirnya saya faham
arti kata itu.
Mendidik adalah
‘menyetrum’. Saya berbicara dengan hati bukan dengan mulut. ‘Menyetrum’ guru
supaya memahami pondok, memahami pimpinan, memahami apa yang dibicarakan
pimipinan, dan kalau bisa mengamalkannya. Efek ’struman’ ini tidak sama, ada
yang kuat dan ada pula yang lemah. Sebab, manusia itu bermacam-macam. Ada yang
seperti batu keras dan tidak mau mengerti. Ada juga yang laksana tanah subur
kemudian faham apa yang diajarkan kepadanya, sehingga ia menumbuhkan pohon dan
menghasilkan buah. Dan ada pula yang seperti pohon tertentu yang sulit dimana
baru puluhan tahun baru faham.
Sebagai pimpinan Pondok, saya menentukan dan memilih
guru. Mudah-mudahan saya tidak salah pilih. Mereka yang terpilih menjadi guru
di Gontor bukan karena semata-mata lulus dengan predikat mumtaz
(memuaskan). Belum tentu yang mumtaz saya pilih. Kadang yang mumtaz
egonya tinggi sekali. Tapi yang saya pilih adalah mereka yang memiliki jiwa
kemasyarakatan, bisa mendidik, bisa menimbang kawan, dan tidak egois. Sebab,
dalam mendidik diperlukan banyak pengorbanan, banyak kesabaran, dan ketekunan.
Jadi saya mencari santri-santri yang tekun dan guru-guru yang tekun. Dari
sinilah sebuah pengalaman dan pendidikan kemasyarakatan, serta pendidikan
hidup, kita didikkan kepada santri-santri dan guru-guru. Dengan harapan agar
mereka menjadi guru yang hebat, sehingga terjadilah proses kaderisasi yang
sesungguhnya.
sumber : www.majalahgontor.net
0 Comments:
Posting Komentar