Bahasa Menguasai Masyarakat


Foto: Dokumen Kunto Adi Wibowo
Apa deskripsi Anda untuk gambar di atas? Mungkin dapat diringkas seperti ini; ratusan polisi di sebuah jalan ibu kota, lengkap dengan helm dan perisainya, mengintai secara awas. Kala itu, mahasiswa mengepung seluruh jalan untuk mendemo rencana kenaikan BBM. Mereka berlarian menjauhi aparat kepolisian seakan takut diterkam.
Pertanyaan selanjutnya, adakah satu kata yang Anda pikirkan untuk merepresentasikan keadaan tersebut? Taruhan, pasti terbersit di benak Anda kata “Anarkis”.
Kata “anarkis” seakan sudah menjadi bumbu rutin pemberitaan demonstrasi ricuh di penjuru negeri. Media massa kerap kali menampilkan kosakata “anarkis” tanpa mempedulikan apakah kata tersebut tepat guna atau tidak. Sebenarnya, apa makna tulen dari anarkis?
Jika Kamus Besar Bahasa Indonesia menjadi acuan, maka anarkis akan dipermanai sebagai [n] (1) penganjur (penganut) paham anarkisme; (2) orang yg melakukan tindakan anarki. Anarki adalah [n] (1) hal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan, atau ketertiban; (2) kekacauan (dl suatu negara). Sedangkan anarkisme adalah [n] ajaran (paham) yg menentang setiap kekuatan negara; teori politik yg tidak menyukai adanya pemerintahan dan undang-undang.
Kita dapat menyimpulkan, anarki  merupakan semacam keadaan absennya hukum dalam suatu negara. Sedangkan penganut paham anarkis menentang adanya pemerintahan dan undang-undang. Jadi, apakah demonstrasi yang kini wara-wiri di berbagai penjuru Indonesia dapat dikatakan anarkis?
Jawabannya tidak. Pelaku demonstran pada kenyataannya tidak menganut paham bahwa pemerintahan tak perlu ada pada negara. Mereka masih mengakui kalau pemerintahan itu perlu. Mereka berdemo karena ingin pemerintahan yang lebih baik.
Pakar linguistik lazim menyebut fenomena ini sebagai pengalihan makna. Acapkali, pengalihan makna merupakan suatu usaha untuk mendiskreditkan unsur tertentu. Dalam kasus ini, kata “anarkis” yang sering dilekatkan pada pemberitaan demonstrasi membuat demonstran kena getah pahitnya. Mahasiswa demonstran dikenai stereotip anti negara.
Ketika membaca berita di media massa, membaca teks secara mikroskopik merupakan modal melakukan penelitian Critical Discourse Analysis (CDA). Berbagai istilah, seperti “anarkis”, bisa jadi merupakan sistem representasi dari topik tertentu.
Dalam kajian linguistik, akses terhadap realitas selalu melalui bahasa. Linguistik pun terbagi menjadi beberapa sub-kajian. Pertama adalah linguistik dikaji dari strukturalisme langue-parole. Bahasa dalam perspektif strukturalisme dibagi ke dalam dua bagian, yaitu langue (kata-kata) dan parole (aturan menggunakan bahasa).
Menurut Saussure, langue (bahasa) adalah pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama oleh semua warga masyarakat; parole (tuturan) adalah perwujudan langue pada individu. Eksistensi langue memungkinkan adanya parole, seperti yang kita ketahui bahwa parole adalah wicara aktual, cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dirinya. (George Ritzer, 2004).
Hal ini berhubungan dengan struktur tanda yang dikenalkan Ferdinand de Saussure. Terdapat, istilah signifier dan signified. Dengan pendekatan bahasa, signifier digambarkan sebagai peraturan yang melekat pada signified—kata.
Kajian strukturalisme menyatakan bahwa struktur kesadaran, struktur masyarakat, dan struktur bahasa saling berkaitan membentuk siklus. Struktur kesadaran menurut Claude Levi Strauss adalah rangkaian nilai yang tertanam dalam diri masing-masing dan melandasi setiap pandangan dan perilaku kita secara sadar. Kompleksitas segala nilai yang membentuk diri manusia menjadi penerjemah setia dalam memandang dan menyikapi segala realitas hidup.
Struktur kesadaran ini dapat dipengaruhi oleh struktur bahasa. Contohnya saja, kita dibiasakan untuk mengenal kata “radikal” sebagai sifat yang negatif. Kata “radikal” ramai berkait dengan aksi gerakan Islam bersenjata dalam pemberitaan media massa. Padahal, makna radikal sebenarnya merupakan suatu sifat positif yang mengajarkan kita untuk menggali sedalam-dalamnya sesuatu sampai ke “akarnya”. Berarti, struktur kesadaran kita akan “radikal” telah digiring keluar makna aslinya.
Sedangkan struktur masyarakat dapat dipengaruhi oleh struktur kesadaran yang menghegemoni . Jika kita meninjau kajian dari Jacques Lacan, kita akan menemukan sosok phallus (penis, menurut Sigmund Freud), yang seolah menjadi referensi utama dalam sebuah realitas. Seperti misalnya, phallus adalah bermain golf mencerminkan martabat lebih tinggi. Yang tidak bermain, martabatnya lebih rendah. Ada semacam kastrasi yang membedakan strata sosial.
Dalam kajian strukturalisme, dikenal pula istilah sintagmatik dan paradigmatik. Sintagmatik adalah hubungan antara unsur yang berurutan (struktur). Sedangkan paradigmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan yang tidak hadir, dan dapat saling menggantikan, bersifat asosiatif (sistem).
Jika dianalogikan, sintagmatik merupakan tata cara susunan baju– bahwa topi diletakkan di kepala, atasan dikenakan di bagian atas tubuh, atau sepatu dikenakan di kaki. Sedangkan paradigmatik digunakan untuk mengarahkan nuansa.  Contohnya, pemakaian sepatu hak tinggi lebih menunjukkan sisi feminin dibanding sepatu kanvas walaupun keduanya digunakan di bagian tubuh yang sama.
Kajian linguistik dapat pula ditinjau dari psikologi kebahasaan. Pendekatan ini menekankan bagaimana individu menggunakan bahasa, untuk dirinya, pikirannya dan emosinya dibentuk dan ditransformasikan melalui interaksi sosial. Salah satu teori yang berhubungan dengan psikolinguistik adalah teori Sapir-Whorf.
Teori relativitas linguistik yang dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf menyatakan bahwa orang berbicara  dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka  berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula. (Kramsch, 2001:11).
Pendekatan ketiga adalah pendekatan pasca-strukturalisme. Pendekatan ini menyatakan bahasa bukanlah refleksi dari realitas yang ada. Bahasa menafikan kepentingan makna. Penggunaan bahasa adalah permainan teks. Wacana sebagai bahasa bukan hanya dilihat sebagai artefak (apa yang kita lihat dan dengar) namun juga proses produksi dan interpretasi.
Penggambaran fenomena melalui pendekatan ini dapat dirunut sampai ke zaman penjajahan. Kala itu, kaum non bangsawan kerap disebut dengan julukan “abdi dalem”. Abdi dalem tidak perlu membayar pajak karena mereka adalah abdi tuannya, bukan “manusia”.
Namun, pada zaman tersebut Sir Stamford Raffles (kolonialis Inggris) ingin agar biaya pajak dikenakan pada kaum non-bangsawan pula. Oleh karenanya, ia menggembar-gemborkan sebutan “wong cilik” untuk kaum non-bangsawan.” Wong cilik” tetaplah “wong” (orang) yang harus bayar pajak pula seperti tuannya. Beginilah proses produksi bagaimana term “wong cilik” akhirnya menjadi luas dikenal.

sumber : salmanitb.com

Posting Komentar

0 Komentar