Ilmu Pengetahuan Dalam Tradisi Islam


Oleh Dr H Shobahussurur MA
Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
«Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Fathir: 28)

Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, juz 6 hal. 149-150, menyebut alam raya ini sebagai al-kitab al-kauny (buku alam). Buku itu dibuat dengan halaman-halaman indah, berwarna warni, dengan isi yang menakjubkan sehingga menarik siapa saja yang membacanya. Buku besar yang berjilid-jilid itu dibuka dengan satu buku petunjuk yang disebut al-Qur’an. Maka sesungguhnya para ulama (ilmuwan) yang mampu membaca, merenung, dan memikirkan kitab itu adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Mereka itu mengetahui Allah dengan ma’rifah haqiqiyyah (pengetahuan yang benar), mengetahui pengaruh ciptaan dan kekuasaan-Nya. Mereka merasakan hakikat keagungan-Nya melalui hakikat penciptaan. Maka, mereka benar-benar takut, bertaqwa, dan beribadah kepada-Nya. Ilmu yang mereka dapat adalah ilmu yang menghubungkan antara pikiran (akal), perasaan (hati), dan tindakan (harakah).

Al-Razi menjelaskan dalam Mafatih al-Ghaib, juz 1 hal. 446-447 bahwa, ayat di atas menunjukkan betapa pentingnya peran ilmu dan para ilmuwan adalah manusia yang memiliki derajat tertinggi (QS al-Mujadilah: 11). Alasannya, pertama, Para ilmuwan itu (ulama) adalah ahli surga karena mereka takut kepada Allah (QS al-Bayyinah: 8 dan ar-Rahman: 46). Dalil akal menyebutkan bahwa orang yang mengetahui Allah wajib takut kepada-Nya, karena orang yang tidak mengetahui sesuatu tidak mungkin takut kepadanya. Para ilmuwan takut kepada Allah karena mereka mengetahui kekuasaan-Nya (qudratullah), mengetahui keluasan ilmu-Nya (‘ilmullah), dan mengetahui kebijaksanaan-Nya (hikmatullah). Kedua, Hanya orang-orang berilmu saja yang akan menjadi ahli surga. Karena hanya mereka saja yang takut kepada Allah. Maka ilmu mengantarkan orang untuk mampu mendekat, mencintai, dan takut kepada Allah. Ketiga, Kalaulah ada makhluk yang ditakuti setelah Allah, maka mereka itu adalah para ahli ilmu. Karena mereka adalah orang-orang yang memiliki keistimewaan di atas orang-orang bodoh. Keempat, Kedudukan ilmu sangat tinggi. Maka Nabi Muhammad pun terus disuruh menambah ilmu, sebagaimana dalam firman Allah: Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS Thaha: 144), Begitu pula Nabi Musa terus belajar: “Musa berkata kepada Khidhr: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?.” (QS al-Kahfi: 66). Begitu pula Nabi Sulaiman lebih berbangga memiliki ilmu daripada kekuasaan. Firman Allah: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: ‘Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata.” (QS al-Naml: 16).
Para ahli ilmu menduduki derajat yang tinggi karena kemampuannya memadukan antara iman dan ilmu. Yang membedakan tinggi rendah martabat seseorang adalah iman dan ilmunya, kata Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, hal. 31. Lanjutnya, seorang yang beriman, akan memancarkan sinar terang, wajah bersinar, dan perilaku terpuji, memiliki moral dan akhlak mulia. Apalagi bila iman itu dilengkapi dengan ilmu, seorang bisa menjadi agung, terhormat, walau tanpa jabatan disandangnya. Iman dan ilmu saling melengkapi. Iman tanpa ilmu bisa menjadikan seorang terperosok pada kesesatan, mengerjakan sesuatu yang disangka menyembah Allah padahal mendurhakai-Nya. Begitu sebaliknya, ilmu tanpa iman akan membahayakan dirinya dan orang lain. Tanpa iman, ilmu dapat merusak, menghancurkan, dan memusnahkan.
Dalam rangka mencapai keagungan dan derajat yang tinggi itu umat Islam dari generasi ke generasi terus belajar mengembangkan ilmu pengetahuan. Penghargaan Islam yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, menjadikan kaum Muslimin berlomba-lomba membangun peradaban Islam. Karenanya, dalam sejarah dunia, umat Islam pernah mencapai peradaban tertinggi di atas peradaban-peradaban lain. 
Kewajiban menuntut ilmu diungkapkan al-Qur’an dalam sekian banyak ayat dengan redaksi yang berbeda-beda. Jika merujuk akar katanya, `aqala dan tashrifnya disebut sebanyak 49 kali; fakara dan tashrifnya disebut sebanyak 20 kali; faqiha sebanyak 20 kali; ‘alima sebanyak 679 kali; dan qara’a sebanyak 70 kali.

Khazanah ilmu universal
Islam memandang bahwa ilmu seluruhnya adalah milik Allah. Ilmu Allah itu sangat luas (QS al-An’am: 59 dan al-Kahfi: 109). Manusia dengan kemampuan akalnya berusaha untuk menggali ilmu Allah. Hanya dengan izin Allah manusia diperkenankan untuk mendapatkan ilmu-Nya (QS al-Baqarah: 255). Maka tujuan mencari ilmu, mestinya diarahkan untuk ma’rifah Allah (mengenal Allah), memahami syariah-Nya, mengemban tugas sebagai hamba dan khalifah di bumi. Mencari ilmu untuk kebahagiaan hakiki yang menyeimbangkan antara jasmani ruhani, spiritual material, dan duniawi ukhrawi dalam ridha Allah. Hasilnya adalah terwujudnya manusia yang beriman kuat, beramal manfaat, dan berakhlak mulia.
Atas dasar itu, dalam sejarah Islam, perkembangan ilmu pengetahuan maju pesat hingga mencapai kejayaan­nya. Berbagai ilmu digali, diteliti dan diambil dari pelbagai sumber. Sabda Rasulullah SAW: “Hikmah adalah barang yang hilang milik seorang mukmin. Di mana­pun ia menemukannya, maka dialah yang berhak mendapatkannya.” Sebuah makna betapa ilmu itu universal. Tentu saja, seorang penuntut ilmu harus mencari ilmu dari sumber yang otentik otoritatif. Maka sumber ilmu adalah al-khabar al-shadiq (informasi benar), bukan al-khabar al-kazib (informasi bohong), dengan akurasi riwayat dan sanad.
Al-Quran menyebut orang yang menguasai ilmu sebagai al-`ulama. Sebutan lain yang mirip adalah ulul albab (pemilik akal pikiran). Sayyid Quthb menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang selalu tafakkur (me­mikirkan) tentang penciptaan langit dan bumi, tadabbur (merenungkan) silih bergantinya siang dan malam, belajar dari kitab al-kaun al-maftuh (buku alam terbuka). Fitrah mereka menyambut kebenaran yang terkandung di dalamnya, selalu tawajjuh (menghadap) kepada Allah dengan shalat yang khusyu. Lebih dari itu, mereka melahirkan karya yang bermanfaat sebagai hasil proses belajar.

Klasifikasi ilmu
Bila dalam sejarah Islam ilmu berkembang begitu maju dan pesat, hal itu tidak lain karena dikembangkan oleh para ulama seperti di atas. Maka, kemudian ilmu pun berkembang dengan kategorisasi tertentu, yaitu ilmu keislaman, ilmu pengetahuan alam, dan filsafat dan humaniora.
Ilmu-ilmu keislaman berkembang pesat seiring dengan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dalam memahami petunjuk agama yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadis. Karenanya, berkembanglah ilmu yang berhubungan dengan al-Quran dan al-Hadis seperti tafsir, fikih, kalam, tasawuf, dan tarikh. Di samping itu, berkembang pula ilmu-ilmu bantu serta metodologi yang sistematis dalam kajian ilmu-ilmu tersebut seperti `Ulumul Qur’an, `Ulumul Hadits, Ushul Fikih, dan lain sebagainya.
Ilmu pengetahuan alam atau eksakta mengalami perkembangan yang spektakuler dengan ditemukannya dasar-dasar eksakta bagi peneliti berikutnya. Bahkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat tidak lepas dari peran para saintis Muslim di masa klasik. Di antara disiplin ilmu eksakta yang menonjol dikembangkan saintis Muslim waktu itu adalah astronomi, fisika, kimia, kedokteran, biologi, matematika, dan aljabar.
Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam tidak lepas dari kebutuhan para ilmuan Muslim terhadap ilmu-ilmu eksakta. Bagi mereka filsafat Yunani dengan alat-alatnya seperti dialektika, silogisme, logika, dan sebagainya, sangat membantu memecahkan persoalan teoritis ilmu pengetahuan. Melalui penerjemahan karya-karya Aristoteles, Plato, dan lain-lain, pemikiran filsafat kemudian dipahami dan  dikembangkan sehingga muncul corak baru dengan ciri khas tersendiri sebagai filsafat Islam.
Kemajuan di bidang humaniora terlihat dari kemajuan bidang sastra, baik sastra Arab maupun Parsi. Kesusastraan Arab tidak dapat dilepaskan dari Islam. Sejak sebelum Islam, tradisi intelektual Arab dapat dilihat dari karya-karya sastranya. Tingginya nilai sastra dalam al-Qur’an membuat mempelajari kesusastraan Arab semakin tinggi dalam rangka mengkaji al-Qur’an.
Ketiga kategori ilmu pengetahuan di atas, pada masa kejayaan Islam tidak pernah dikotak-kotakkan menjadi bidang yang terpisah. Semua menjadi satu kesatuan penting, tidak ada anggapan sebagiannya berguna dan sebagian lain tidak berguna. Perhatian para ulama terhadap ilmu-ilmu alam, filsafat, eksakta, dan humaniora sama besarnya dengan perhatian mereka terhadap ilmu-ilmu keislaman. Namun ilmu dan peradaban Islam menjadi redup sejalan dengan pola pikir yang berubah, di mana ilmu-ilmu keislaman dijadikan sebagai paling dominan, sementara ilmu-ilmu lain menjadi ilmu pinggiran. Alhasil terjadilah dikotomi dan dualisme ilmu pengetahuan yang menelantarkan ilmu-ilmu alam dan humaniora. Wallahu A’lam bish-shawab
Restore Default Settings www.rockettheme.com

Posting Komentar

0 Komentar