Seseorang guru dalam mengajar tentunya dituntut memiliki berbagai
kompetensi. Salah satunya adalah kompetensi dalam berbahasa atau
kompetensi komunikatif. Bagaimana ia dapat membuat para peserta didik
dapat memahami apa yang disampaikan ketika mengajar.
Mahmud Fasya, dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
saat diwawancarai Salman Media, Rabu (13/03) menyampaikan, seorang guru
mempunyai tugas melakukan transfer ilmu kepada anak didiknya. Ilmu akan
bisa tersampaikan dengan baik kepada sasarannya dengan melakukan
pengajaran yang komunikatif. Keahlian komunikatif ini merupakan
kemampuan ekstrover yang harus muncul pada diri seorang guru.
Bila diumpamakan, pekerjaan guru dapat disamakan dengan tukang obat.
Kalau tukang obat menjajakan obatnya sedangkan guru menjajakan ilmunya.
Di sinilah kemampuan berbahasa diperlukan agar para peserta didik
tertarik sehingga mereka memperoleh ilmu yang “dijajakan” oleh guru.
Mahmud melanjutkan, pendidikan di Indonesia secara umum menggunakan
bahasa Indonesia sebagai pengantarnya. Bahasa pengantar tersebut
maksudnya adalah bahasa yang harus dipakai dalam proses belajar-mengajar
secara formal. “Secara formal, guru dan pendidik menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar,” ujar lelaki yang aktif dalam Masyarakat
Linguistik Indonesia (MLI) ini.
Rumus “5 W”
Mahmud juga menjelaskan, bahasa yang “baik” ialah sesuai dengan tata
bahasa Indonesia yang sudah ditetapkan. Sedangkan bahasa yang “benar”
ialah sesuai dengan situasi. Maksudnya, melihat situasi tersebut dari
berbagai aspek, di antaranya dari pragmatik dan sosiolinguistik.
Misalnya, kita perlu membedakan penggunaan bahasa ketika berbicara
dengan orang tua dan anak-anak.
“Berbahasa yang baik mengikuti aspek 5W, who speak, to whom, when, what language, dan to what end,” ungkap dosen Universitas Pendidikan Indonesia yang sedang menempuh program doktoral ini.
Who speak, siapa yang berbicara. Ketika seseorang berbicara,
ia harus bisa menempatkan statusnya sedang berperan sebagai siapa. Kalau
sebagai guru, maka berbicaralah kepada siswa dengan status tersebut.
To whom, kepada siapa. Maksudnya, seseorang harus tahu kepada
siapa ia akan berbicara. Dalam konteks seorang guru, berarti ia mesti
mengetahui bahwa peserta didiknya apakah anak-anak, remaja, atau dewasa.
When, kapan. Apabila berbicara, lihatlah saat itu sedang
berbicara dalam kondisi apa. Misalnya, seorang guru ketika dalam proses
belajar-mengajar dan saat di luar proses tersebut perlu membedakan
penggunaan cara berbahasanya.
What language, dengan bahasa apa. Bahasa perlu disesuaikan
ketika seseorang berbicara dengan pertimbangan tertentu. Seorang guru
perlu memakai bahasa formal ketika sedang mengajar dan dapat memakai
bahasa sehari-hari ketika bertemu dengan siswanya di luar kelas.
To what end, untuk tujuan apa. Tujuan yang hendak diperoleh
dari penggunaan bahasa ketika berkomunikasi juga penting. Seorang guru
yang mempunyai tujuan untuk mentransformasikan ilmunya kepada siswa
harus sadar bahasa seperti apa yang tepat digunakannya.
Rumus “KEREN SEMASA”
Selain berbahasa dengan baik dan benar, menurut ilmu komunikasi,
ketentuan berbahasa tersebut masih perlu ditambah dengan pemakaian
bahasa yang “efektif”. Efektif dalam artian bisa mengemas ide dan
gagasan secara mantap sehingga bisa dipahami lawan bicara (peserta
didik), tidak boleh bertele-tele. Terkait hal ini, Mahmud memberikan
rumus agar seorang guru dapat melakukan kaidah berbahasa tersebut yaitu
“KEREN SEMASA”.
“KE”, kejelasan subyek (ide). Seorang guru dalam menyampaikan
idenya haruslah jelas sehingga dapat dimengerti para peserta didiknya.
Jangan sampai ia berbicara panjang lebar namun malah membuat bingung.
“REN”, koherensi. Setiap unsur-unsur yang keluar dari ujaran
seorang guru harus memiliki keterkaitan, baik itu antara kata dengan
kata, kalimat dengan kalimat, dan seterusnya.
“SE”, kesejajaran atau keparalelan. Bentuk kata yang digunakan
guru akan lebih enak disimak oleh peserta didiknya apabila kata-katanya
senada atau setipe. Misalnya, “Mencegah lebih baik daripada mengobati”.
Dalam kalimat tersebut, terdapat penggunaan imbuhan me- yang membuatnya lebih menarik diucap maupun didengar.
“MA”, kehematan. Dalam berkata, seorang guru jangan sampai bertele-tele atau pleonasme sehingga membuat para peserta didik bosan.
“SA”, kelogisan. Jangan sampai seorang guru memunculkan
kalimat ambigu yang tidak masuk ke nalar siswanya. Misalnya, “Rumah ini
mau dijual”. Tentunya, sebuah rumah tidak akan mungkin memiliki
keinginan untuk menjual dirinya.
Apabila seorang guru dalam mengajar mengikuti resep ini, komunikasi
efektif akan berlangsung darinya kepada para siswanya. “Bahasa adalah
variabel terikat yang harus disesuaikan,” tutup Mahmud.sumber : salmanitb.com
0 Comments:
Posting Komentar