Oleh Abu Darda’
Secara sepontan Pak
Sahal (KH Ahmad Sahal) menjawab: “Ben dhadi wong,” ketika ditanya
seorang tamu yang tengah berkunjung ke Gontor. Tamu itu sebelumnya sempat
memperhatikan ragam kegiatan santri, mulai dari mencuci pakaian, olah raga,
latihan keterampilan dan kesenian, diskusi, membuat board magazine
(majalah dinding), hingga membaca buku di perpusatakaan, dan seterusnya. Ia pun
melontarkan pertanyaan filosofis kepada Bapak Pendiri Gontor: “Akan dibawa ke
mana anak-anak ini?”
Jawaban Pak Sahal
memang singkat, padat dan mudah dipahami si tamu yang memang berada dalam
suasana dan setting budaya pesantren saat itu. Bagi kita sekarang, bagaimana
cara membaca yang tepat untuk dapat memahami tujuan pendidikan pesantren ini?
Mau tidak mau kita
harus menempuh cara pembacaan interaksi simbolik, yakni memahami budaya lewat
perilaku yang terpantul dalam komunikasi. Maka, kita selami simbol-simbol
berupa aqwal, af’al maupun ahwal yang hidup dan terjaga
hingga saat ini dalam kerangka ‘sunnah’ dan disiplin Gontor. Dengan demikian
kita melakukan pendekatan grounded. Jika tidak, atau jika kita
memaksakan pembacaan dengan filsafat pendidikan kontemporer, alih-alih
berusaha memahami tujuan pendidikan pesantren ini, kita terjebak pada dualisme
yang membingungkan, seperti: berorientasi ke masa lampau atau masa depan;
perenialisme atau esensialisme; dst.
Perenialisme,
misalnya, aliran filsafat pendidikan yang didukung oleh filsafat idealisme ini
sekilas sama dengan pendidikan pesantren. Terlebih konsep pendidikan dalam
perenialisme adalah pewarisan budaya kepada generasi baru, yakni berupa
nilai-nilai abadi, tak terbatas ruang dan waktu. Tujuan pendidikan perenialisme
bersifat pasti dan abadi karena berasal dari Tuhan, yaitu membentuk karakter
manusia. Filsafat pendidikan ini berorientasi ke masa lampau, yakni masyarakat
agraris, seakan-akan masyarakat itu statis, tak berkembang. Karena itu Gontor
tidak sama dengan perenialisme dan penekanan Gontor tidak semata-mata
pendidikan nilai-nilai abadi. Orientasi Gontor adalah pembentukan masyarakat
masa depan dengan segala kompleksitas masalah dan kebutuhan yang
dihadapinya. Saat pulang dari suatu mu’tamar tahun 1926 di Surabaya, Pak
Sahal (kala itu baru berumur 26 tahun) memimpikan lahirnya tokoh dari
didikannya yang mampu mewakili umat berbicara di level internasional dan
dengan bahasa internasional, Arab dan Inggris. Maka, Pak Sahal pun mendirikan
Gontor dengan penekanan pada pendidikan kepemudaan dan kepemimpinan.
Aliran filsafat
pendidikan lainnya yang berorientasi ke masa lampau adalah esensialisme.
Filsafat pendidikan yang didukung oleh filsafat realisme ini berusaha
mewariskan budaya berupa pekerjaan kepada generasi penerus agar mereka dapat
memiliki penghidupan yang lebih baik. Dengan demikian generasi penerus
mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki rasa tanggung jawab
kepada masyarakat. Hal ini seolah-olah sama dan cocok dengan Gontor karena
berbagai keterampilan diajarkan di sini dan rihlah iqtishadiyah (wisata
ekonomi) menjadi bagian dari kurikulum pesantren ini. Akan tetapi, bagi Gontor
“Mental Skill lebih penting dari Job Skill.” Dengan
nada gurau tapi benar adanya, Pak Zar (KH Imam Zarkasyi) mengatakan bahwa tanpa
mental yang baik, seorang yang terampil memelihara ayam, karena tidak punya
uang, bisa-bisa dia mencuri ayam.
Aliran filsafat
pendidikan yang lebih berorentasi kepada masa depan, yakni masyarakat urban,
adalah progresivisme dan rekonstruksionisme. Progresivisme yang didukung oleh
filsafat pragmatisme ini bercirikan empirisme, utilitarianisme dan positivisme.
Progresivisme memandang pendidikan sebagai aktualisasi diri, yakni proses
reorganisasi dan rekonstruksi pengalaman individu peserta didik. Tujuan
pendidikan bagi aliran ini adalah menggunakan pengalaman tersebut sebagai alat
untuk menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.
Karena penekanan pada
keaktivan pribadi sepertinya aliran ini sama dengan Gontor, tapi sesungguhnya
tidak. Pesantren ini memang menekankan partisipasi penuh dari seluruh santri
dalam mengelola dan mengembangkan minat dan bakat pribadi-pribadi dalam wadah
organisasi pelajar dan pramuka. Namun, tidak seperti progresivisme yang tidak
memberi ruang untuk nilai-nilai perennial yang bersumber dari agama, Gontor
justru menekankan hubungan baik dengan Tuhan merupakan faktor terbesar
kesuksesan manusia.
Selain progresivisme, aliran filsafat
pendidikan yang tidak memberi ruang bagi nilai-nilai abadi adalah
rekonstruksionisme. Kalaulah progresivisme menekankan perubahan pada individu,
maka rekonsktruksionisme menekankan perubahan sosial. Rekonstruksionisme
menghendaki adanya tata sosial yang baru sesuai dengan perkembangan nilai dan budaya
masyarakat industrial. Hal ini tentu berbeda dengan Gontor. Karena, Gontor
memandang manusia atau “wong” sebagai makhluk terhormat dan bermartabat
selama ia berpegang pada nilai-nilai iman yang benar kepada Allah dan beramal
shalih. Itulah taqwa. Dan, Gontor menghendaki terbentuknya masyarakat
berperadaban berdasarkan nilai-nilai taqwa yang abadi itu. Wallahu a’lam
bish shawab.
0 Comments:
Posting Komentar