MENCARI CALEG, MENCARI TUKANG OMONG

Kolom Perpsektif GATRA, 25 April-1 Mei 2013, hal 130.
Oleh Hajriyanto Y. Thohari


SETIAP negara yang demokratis memiliki lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Anggota legislatif dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Maka hari-hari ini menjadi hari-hari yang panjang bagi partai-partai politik untuk menyusun calon anggota legislatif alias caleg: jika nanti terpilih singkatan dari calon legislatif, tapi jika gagal singkatan dari calon teleg-teleg. Pasalnya, sudah menguras banyak dana untuk kampanye toh tidak juga terpilih: yang ada adalah penyesalan.

Lembaga legislatif sering disebut parlemen. Parlemen (parliament) berasal dari bahasa Perancis Parle, artinya bicara. Parlemen memang tempat berkantor wakil-wakil rakyat yang pekerjaannya bicara: bekerja dengan kata-kata. Parlemen atau DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan: ketiganya dilakukan dengan kata-kata. Begitu banyaknya berkata-kata sampai mereka sering tidak menyadari adanya kesenjangan yang sangat lebar antara kata-kata dan perbuatannya.

Walhasil tidak ada yang salah dengan anggota DPR yang banyak bicara. Yang salah adalah anggota DPR yang tidak bicara. Anggota yang banyak bicara menjadi terkenal karena nama dan pernyataannya dikutip media masa cetak, elektronik, dan online. Tentu, dikutip manakala pernyataannya berbobot, memenuhi kualifikasi jurnalistik, membawa resonansi atau reperkusi politik yang kuat, bahkan bergema sampai jauh. Maka di DPR lah berlaku dalil: kalau anda ingin populer maka bicaralah sehingga wartawan mewartakannya.

Gedung parlemen adalah panggung (politik), meski faktanya tidak semua anggota DPR dapat memanfaatkan panggung itu untuk berbicara dan berartikulasi. Ada beberapa anggota yang sedikit sekali bicara, bahkan ada pula yang tidak bicara sama sekali dalam sepanjang periode keanggotaannya. Tidak heran jika nama, apalagi pernyataannya, belum pernah muncul di media massa. Memang namanya sempat muncul di media, tetapi bukan dalam konteks memberikan pernyataan, melainkan dalam kasus yang lain. Walhasil, selama lima tahun itu mereka cuma plonga-plongo saja. Setiap sidang tangannya selalu memegang jidatnya seakan sedang berpifikir keras memeras otaknya, tetapi sampai sidang berakhir tidak kunjung keluar hasil pemikirannya dari mulutnya.

Begitu sentralnya bicara sampai-sampai anggota DPR diberi hak Imunitas, yaitu hak yang dimiliki oleh anggota DPR untuk tidak dapat dituntut ke pengadilan karena pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataannya di dalam dan di luar sidang. Tentu selama mereka dapat membuktikan secara meyakinkan bahwa pernyataan-pernyataannya itu dalam rangka menjalankan fungsinya. Walhasil, pada sejatinya tidak ada alasan bagi anggota DPR untuk takut berbicara kritis. Ketakutan berbicara kritis hanyalah mungkin terjadi karena yang bersangkutan bermasalah
Karena pekerjaannya berkata-kata maka yang dihasilkan oleh parlemen adalah kesimpulan kata-kata: berupa undang-undang (UU), persetujuan atau pertimbangan, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), dan hasil pengawasan. Sekongkrit-kongkritnya produk DPR tidak bisa lebih dari itu! Sangatlah mengherankan kalau ada orang yang menuntut agar DPR lebih kongkrit dan jangan bicara saja. Pasalnya, yang kongkrit adalah domain pekerjaan eksekutif.

Sangat meyakinkan, kesemua produk DPR tidak ada manfaatnya jika tidak dilaksanakan atau diimplementasikan. Adapun yang berfungsi melaksanakannya adalah eksekutif, yaitu presiden dan seluruh aparatur pemerintahan dari pusat sampai daerah. Presiden dan menteri-menterinya disebut eksekutif, bahkan eksekutif par excellence, karena satu-satunya lembaga yang memiliki fungsi eksekutorial, yakni melaksanakan (to execute) undang-undang dan kebijakan publik lainnya. Sebagai eksekutif mereka lebih dituntut banyak bekerja katimbang bicara. Sedikit bicara dan banyak kerja adalah mode of existence para eksekutif. Dengan kata lain filosofi eksistensialnya adalah diam itu emas, silence is golden.

Sementara DPR karena disebut legislatif (law maker) dan lembaganya disebut parlemen (parle: bicara) maka moda keberadaann (mode of exixtence)-nya adalah bicara. Maka jangan sampai terjadi fenomena jungkir balik seperti disinyalir akhir-akhir ini: eksekutif senangnya banyak bicara, parlemen maunya banyak bekerja (misalnya menggiring proyek). Pileg itu bukan pemilihan umum untuk memilih pimpro (pimpinan proyek) yang tugasnya bekerja, apalagi pengpro (penggiring proyek), melainkan mencari tukang omong yang artikulatif, bernas, dan berbobot.

Hajriyanto Y. Thohari, Wakil Ketua MPR RI

Posting Komentar

0 Komentar