Al-Ghazali dan Pendidikan Anti-Korupsi

Oleh: Dr. Syamsuddin Arif 

HAMPIR
setiap hari sejak beberapa bulan terakhir, kita dibombardir berita korupsi dari kelas kakap hingga kelas teri. Dari tingkat pusat sampai level kelurahan. Dari pegawai biasa hingga pejabat tinggi. Dari pengusaha hingga politisi. Tak terkecuali jaksa, hakim, dan polisi, bahkan menteri. Sepanjang tahun 2004 hingga 2012 saja, data dari Kemendagri mencatat, ada 2.976 anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II terlibat tindakan kriminal, dimana 33,2 persen atau 349 kasus adalah korupsi. Umumnya kasus manipulasi anggaran atau mark-up biaya pengadaan barang, fasilitas dan jasa. Juga pemungutan biaya ilegal atas layanan publik, pemberian suap alias gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang atau jabatan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi maupun relasi.

Di satu sisi, berita-berita tersebut justru menimbulkan frustasi ketimbang harapan. Kepercayaan masyarakat jadi makin surut pada institusi-institusi di negeri ini. Alih-alih prihatin atau malu, publik maupun pelaku kini sama-sama menjadikan korupsi sebagai bahan guyonan, karena kritik dan sindiran setajam apapun tak lagi mempan. Seperti seloroh Mbah Kartolo di TIM Jakarta: “Paling enak numpak motor, paling aman numpak sepur. Paling aman dadi koruptor, nek konangan ya ndek Singapur”. Maksudnya: paling nyaman naik motor, paling aman naik kereta. Paling aman jadi koruptor, kalau ketahuan kabur ke Singapur(a). Maka muncul di sisi lain tanda tanya besar dalam benak kita: Apakah sebab ini semua dan adakah obatnya?


Tiga Teori
Secara umum, penjelasan para ahli mengenai korupsi dapat dikelompokkan menjadi tiga.
Pertama, teori kesempitan yang mengatakan bahwa orang korupsi karena gajinya kecil, pendapatannya rendah, hidupnya susah, kebutuhan banyak. Maka solusinya, menurut teori ini, kesejahteraan perlu ditingkatkan dan gaji dinaikkan. Namun masalahnya, jika teori kesempitan ini benar, mengapa banyak pelaku korupsi itu ternyata orang-orang yang kehidupannya makmur? Maka disodorkanlah dua tipe korupsi: yaitu korupsi karena kesempitan hidup (corruption out of need) dan korupsi karena rakus (corruption out of greed). Seperti hasil penelitian Vito Tanzi (1998, hlm. 572), kenaikan gaji dan kecukupan tidak menjamin orang berhenti atau enggan korupsi.
Teori kedua boleh kita namakan teori kesempatan. Menurut teori ini, orang korupsi karena adanya kesempatan, kendati awalnya mungkin tidak punya keinginan atau rencana sama sekali. Namun teori ini pun bermasalah juga. Apakah semua orang yang punya kesempatan pasti korupsi? Bukankah pada kenyataannya tidak sedikit orang berkesempatan korupsi tetapi tidak melakukannya? Teori yang berpijak pada asumsi keliru ini menganggap manusia itu cenderung berbuat jahat. Maka dari itu semua pintu korupsi hendaklah dikunci rapat-rapat. Jangan sekali-sekali memberi ruang atau peluang walau sedikit atau sekecil apapun.
Namun lagi-lagi masalahnya seperti kata Iwan Fals (1986), “Otak tikus memang bukan otak udang.” Otak koruptor tidak sama dengan otak komputer. Jika sudah niat korupsi, ada atau tidak ada kesempatan itu bukanlah persoalan. Kesempatan bisa dicari, bahkan diciptakan. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan.
Adapun yang ketiga adalah teori kelemahan. Pendukung teori ini percaya bahwa tindak korupsi merebak akibat lemahnya tata kelola pemerintahan (poor governance), lemahnya sarana penegakan hukum (weak legal infrastructure), dan lemahnya mekanisme pengawasan (weak monitoring system). Namun, teori ini pada gilirannya terjebak dalam logika ‘muter-muter’ alias circular reasoning. Bahwasanya korupsi disebabkan oleh pemerintahan yang lemah, dan pemerintahan yang lemah disebabkan oleh korupsi. Pemerintahan mesti kuat agar korupsi lenyap, dan korupsi baru lenyap bila pemerintahan kuat. Jadilah pertanyaannya sekarang bagaimana memutus lingkaran setan ini.

Perspektif Agama
Karena korupsi adalah tindakan curang untuk mendapatkan uang ataupun keuntungan dengan cara menyalahi, melangkahi, dan mengakali aturan hukum dan undang-undang negara, maka termasuk tindak korupsi itu memberi dan menerima suap (bribery), mencuri (theft) atau menggelapkan (embezzlement), melakukan pemalsuan (fraud), pemerasan (extortion), dan menyalahgunakan wewenang atau jabatan (graft). Semua praktek ini hukumnya jelas haram. Agama melarang keras perbuatan korupsi segala bentuk: ghisysy (menipu), mencuri (sariqah), menggelapkan (ghulul), menyuap (rasywah), dan menerima atau meminta suap (irtisya’).
“Siapa bertindak curang [yakni korupsi] niscaya datang dengan kecurangannya itu pada hari kiamat kelak”, firman Allah dalam al-Qur’an (3:161).
Menurut Imam ar-Razi, curang di sini maksudnya mengambil hak [milik negara] secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi (at-Tafsir al-Kabir, cetakan Beirut 2005, jilid 3, juz. 9, hlm. 62).
Kanjeng Nabi Muhammad pun telah bersabda: “Wahai manusia, siapapun yang menjalankan tugas untuk kami, lalu dia menyembunyikan dari kami barang sekecil jarum atau lebih, maka apa yang disembunyikannya itu adalah kecurangan [yakni korupsi] yang kelak dibawanya pada hari kiamat”, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad.
Bahkan dalam hadits lain, “Seutas tali sekalipun akan menjadi api neraka atau dua utas talipun akan menjadi api neraka [seandainya tidak dikembalikan].” (HR: Imām al-Bukhārī).
Kalau secara normatif agama begitu gamblang hukumnya, lantas mengapa faktanya kejahatan korupsi begitu sukar untuk dihentikan? Apabila kita cermati secara mendalam, niscaya jelas bahwa korupsi itu nyaris tidak ada hubungannya dengan status agama pelakunya.
Tindakan korupsi lebih erat kaitannya dengan soal mentalitas daripada identitas agama. Sebagaimana halnya kebersihan, kedisiplinan dan kerja-keras lebih banyak ditentukan oleh sikap dan watak individu ketimbang afiliasi ideologinya.
Nabi mengatakan, “Manusia itu ibarat logam. Kalau aslinya emas, maka apapun bentuknya –cincin, kalung, ataupun gelang– tetap emas.” Jika seseorang itu dasarnya baik, rajin dan jujur, maka dia akan menjadi Muslim, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha yang baik, rajin dan jujur. Sebaliknya jika wataknya buruk, licik, dan pemalas, maka apapun agamanya akan tetap jahat dan buruk perangainya.
Memang betul, manusia bukanlah logam. Manusia lahir asalnya bersih, kullu mawlūdin yūladu ‘alal fitrah, kata Kanjeng Nabi. Tidak ada bayi baru lahir langsung jadi koruptor. Kejahatan dan sifat-sifat tercela seperti halnya akhlak terpuji diperoleh dari lingkungan sosial dan intelektualnya. Jadi tak salah kalau disimpulkan bahwa korupsi itu hasil pembelajaran, pergaulan, dan pendidikan.
Di sinilah langkah kongkrit pemerintah (Kemendiknas) bersama KPK memperkenalkan mata pelajaran dan mata kuliah anti-korupsi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi patut dipuji dan didukung sepenuh hati.
Betapa besar pengaruh pendidikan terhadap korupsi telah lama disinyalir oleh Ibn Khaldun, pakar sosiologi dan sejarawan Muslim klasik. Masyarakat yang sekian lama mengalami penindasan dan kekerasan biasanya akan menjadi bangsa yang korup. Kezaliman dan penindasan menyempitkan jiwa, menguras semangat, dan akhirnya membuat mereka jadi bangsa pemalas, pembohong dan licik. Meski berlawanan dengan hati nurani, hal itu dilakukan jua demi menghindari penindasan yang lebih berat dari penguasa. Lama-kelamaan, berbuat jahat dan menipu melekat jadi kebiasaan dan karakter mereka (Students, slaves, and servants who are brought up with injustice and tyranny are overcome by it. It makes them feel oppressed and causes them to lose their energy. It makes them lazy and induces them to lie and behave viciously. They contradict their conscience for fear of suffering further oppression. Thus they learn deceit and trickery). Demikian tulisnya dalam kitab ‘al-Muqaddimah’ yang diterjemahkan oleh Franz Rosenthal (1967).
Namun, disamping langkah-langkah legal, politis dan edukatif, pencegahan korupsi juga perlu menggunakan pendekatan spiritual agama. Kalau Anda puasa, jangankan yang haram, sedang yang halal pun tidak Anda makan. Sementara yang tidak puasa punya pilihan memakan yang halal saja, yang syubhat (belum tentu halal dan boleh jadi haram), atau bahkan yang haram.
Pada akhirnya semua ini kembali pada sikap. Menurut Imam al-Ghazālī, paling utama sikap orang sholeh dan wara’ yang menjauhi semua kategori karena zuhud. Yang pertengahan itu sikap orang bertaqwa yang menghindari syubhat dan menolak yang haram. Yang paling rendah adalah sikap tidak peduli halal haram dan sebagainya. Inilah resep Imam al-Ghazali untuk pendidikan anti-korupsi.*     

Peneliti INSISTS dan Dosen ISID Gontor 
sumber : www.hidayatullah.com        

Posting Komentar

0 Komentar