Oleh Abu Darda’
Secara sepontan Pak
Sahal (KH Ahmad Sahal) menjawab: “Ben dhadi wong,” ketika ditanya
seorang tamu yang tengah berkunjung ke Gontor. Tamu itu sebelumnya sempat
memperhatikan ragam kegiatan santri, mulai dari mencuci pakaian, olah raga,
latihan keterampilan dan kesenian, diskusi, membuat board magazine
(majalah dinding), hingga membaca buku di perpusatakaan, dan seterusnya. Ia pun
melontarkan pertanyaan filosofis kepada Bapak Pendiri Gontor: “Akan dibawa ke
mana anak-anak ini?”
Jawaban Pak Sahal
memang singkat, padat dan mudah dipahami si tamu yang memang berada dalam
suasana dan setting budaya pesantren saat itu. Bagi kita sekarang, bagaimana
cara membaca yang tepat untuk dapat memahami tujuan pendidikan pesantren ini?
Mau tidak mau kita
harus menempuh cara pembacaan interaksi simbolik, yakni memahami budaya lewat
perilaku yang terpantul dalam komunikasi. Maka, kita selami simbol-simbol
berupa aqwal, af’al maupun ahwal yang hidup dan terjaga
hingga saat ini dalam kerangka ‘sunnah’ dan disiplin Gontor. Dengan demikian
kita melakukan pendekatan grounded. Jika tidak, atau jika kita
memaksakan pembacaan dengan filsafat pendidikan kontemporer, alih-alih
berusaha memahami tujuan pendidikan pesantren ini, kita terjebak pada dualisme
yang membingungkan, seperti: berorientasi ke masa lampau atau masa depan;
perenialisme atau esensialisme; dst.