Argumentasi Hisab Wujudul Hilal

Oleh: Wawan Gunawan Abdul Wahid
Alumni Angkatan Pertama Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut (1984)
Ketua Divisi Kajian Kemasyarakatan dan Keluarga MTT PP Muhammadiyah
Pendahuluan
Satu Islam ragam pemahaman. Maknanya, meskipun satu keyakinan agama yang sama kaum Muslimin bisa mengekspresikan Islam yang warna-warni karena cara memahami agamanya yang tidak sama dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ukhuwah islamiyah. Itulah barangkali yang dapat mentalitemalikan Islam dan kaum Muslimin seantero dunia tak terkecuali di tanah air.   Salah satu fakta keragaman yang hingga saat ini diperbincangkan antar sesama ummat Islam adalah persoalan rukyat dan hisab. Menariknya perbedaan ini dirujukan oleh masing-masing penganutnya pada satu hadis yang sama. Hadis dimaksud adalah:
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: صوموا لرؤيته و أفطروا لرؤيته فاٍن غم عليكم فاقدروا له (رواه البخاري و مسلم واللفظ للبخاري)
Artinya:”Berpuasalah kamu sekalian karena melihat awal bulan dan beridul fithrilah kamu sekalian karena melihat awla bulan ketika awal bulan terhalang pandangan maka lakukanlah estimasi” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim). 
Tentang makna rukyat
Satu kata penting yang termuat dalam hadis Nabi saw di atas yang menjadi sumber terjadinya perbedaan pendapat adalah kata liru’yatih.  Kata ru’yat atau rukyat adalah ism al-mashdar (gerund) dari akar kata kerja ra-a yaraa yang makna harfiyahnya adalah “melihat”.  Karena itulah misalnya Mu’jam Lughat al-Fuqaha (Qal’ah ji, 1985:298) mengartikan rukyat sebagai “al-ibshar” melihat dengan mata. Dengan bingkai itu penyusun Mu’jam ini menurunkan misal “wa minhu ru’yatu hilali ramadlana”, antara lain melihat awal bulan (hilal) ramadlan. 
Sementara dengan bantuan al-mu’jam al-mufahras li-alfazh al-Quran (Abdul Baqi:1984) terbaca bahwa ungkapan kata ra-a yaraa digunakan al-Qur’an untuk dua pengertian sekaligus. Arti yang pertama melihat suatu benda secara visual sedangkan yang kedua melihat sesuatu dalam fikiran atau hati. Untuk makna pertama  berjumlah 26 % sedangkan untuk makna kedua lebih dari 74%.  Untuk misal pertama, antara lain, al-Quran menyebutkannya dalam Surah al-An’am (6) ayat 78 saat menceritakan pengalaman religiusitas Ibrahim a.s.: Falamaa ra-a sy-syamsa baazighah qaalaa haadzaa rabbii hadzaa akbar, tatkala Ibrahim melihat matahari itu terbit lalu ia berucap “inilah Tuhan-ku ini lebih besar”. Sedangkan untuk makna kedua al-Qur’an meyebutkannya, antra lain, dalam Surah al-Fiil (105) ayat 1: Alam tara kayfa fa’ala rabbuka bi ash-haabil fiil? Tidakkah kamu melihat bagaimana Tuhanmu memperlakukan pasukan gajah? Kata kerja “melihat”pada ayat pertama tidak sama dengan “melihat” pada ayat kedua. Yang pertama kata melihat ditujukan untuk sesuatu yang tampak dan terindera oleh mata yaitu matahari sedangkan yang kedua kata melihat ditujukan untuk sesuatu yang tidak tampak karena peristiwa penyerangan Pasukan Gajah yang dipimpin Abrahah dalam upaya menghancurkan Ka’bah itu terjadi jauh sebelum Nabi saw dilahirkan, akan tetapi Allah menyuruh Nabi saw. untuk “melihat” atau memperhatikan peristiwa itu tentu saja kali ini bukan dengan mata tetapi dengan hati dan fikiran Nabi saw.  
Sealur dengan kandungan al-Quran di atas, Ibnu Manzhur al-Mashri dalam karya monumentalnya, Lisan al-Arab (XIV:291), mengutip pernyataan Ibnu Sayyidih yang menegaskan bahwa  kata rukyat itu adalah “an-nadharu bil’ayni wal-qalbi” melihat sesuatu dengan mata dan hati (fikiran).  Dengan uraian makna rukyat sedemikian itu maka terjemahan yang lengkap untuk hadis di atas menjadi “berpuasalah kamu sekalian karena melihat atau menghitung awal bulan dan beridul fithri lah kamu sekalian karena telah melihat atau menghitung awal bulan jika awal bulan terhalang pandangan maka lakukanlah estimasi”.
Memilah antara pesan inti dan pesan sekunder
Abu Ishaq asy-Syathibi dalam karya magnum opusnya al-Muwafaqaat fi Ushul asy-Syari’ah (II:176-183) menegaskan bahwa ketika Syari’ menyampaikan pesan melalui firman Allah dan sabda Rasul Nya, seorang pembaca pesan itu mesti memilah dan memastikan dengan seksama mana yang menjadi pesan inti (al-maqshad al-ashliy) dan mana yang sekedar pesan ikutannya (al-maqshad at-taba’iy). Misalnya, Nabi saw bersabda “law laa an asyuqqa ‘alaa ummatii la amartuhum bis-siwaaki ‘inda kulli shalaatin”. Jika sabda tersebut dibaca dengan harfiyah ia menyebutkan tuntunan menggunakan siwak saat berwudlu. Jika itu pesan yang ditarik (isthinbat) dari hadis tersebut menyisakan pertanyaan “Bagaimana dengan penggunaan sikat gigi dan odol? Dengan pembacaan ala Syathibiyan penggunaan siwak bukanlah pesan inti sabda Nabi di atas. Sejatinya Nabi saw sedang mengajarkan tuntunan bahwa ketika seorang Muslim berwudlu saat hendak menunaikan shalat ia mesti mengupayakan untuk bersih mulut dan gigi. Untuk tujuan itu Nabi menyebutkan satu alat atau sarana yang tersedia pada zamannya yaitu perkakas yang bernama siwak. Dengan demikian penggunaan sikat gigi dan odol pada saat ini sama martabatnya dengan penggunaan siwak pada saat Nabi saw menyampaikan hadis siwak itu. Bahkan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu kaum Muslimin saat ini lebih memilih menggunakan sikat gigi dan odol daripada siwak.
Demikianlah terhadap hadis “shuumuu liru’yatihi dan wa afthiruu li ru’yatih..” pun dapat dilakukan cara pembacaan yang sama. Dengan hadis di atas sejatinya Nabi saw menyebutkan kata rukyat bukan sebagai pesan inti. Pesan inti yang disampaikan Nabi adalah memastikan telah terjadi bulan baru untuk melakukan ibadah puasa dan idul fithri. Dengan demikian hadis “laa tashuumuu hattaa taraul hilaalaa walaa tufthiruu hatta tarawhu…” dapat dimaknai menjadi “janganlah kamu sekalian berpuasa hingga telah memastikan masuk awal bulan baru. Janganlah kamu sekalian beridul fithri hingga telah memastikan awal bulan baru”. Bagaimana bulan baru itu dipastikan? Pada zaman Nabi saw bulan baru itu dipastikan dengan cara merukyatnya atau melihatnya secara visual karena itulah cara yang paling dimungkinkan pada saat itu. Pilihan terhadap rukyat untuk memastikan terjadinya awal bulan karena itulah cara yang tersedia saat itu mengingat kondisi umumnya kaum Muslimin yang belum bertradisi membaca dan berhitung sebagaimana terungkap dari hadis Nabi saw “innaa ummatun ummiyyatun laa naktubu wa laa nahsibu…”.
Memilih hisab atas rukyat
Sebagaimana halnya odol dan sikat gigi yang semartabat dengan siwak sebagai wahana membersihkan mulut dan gigi demikian halnya dalam memastikan bulan baru jika ditemukan cara selain rukyat maka cara tersebut sama martabatnya dengan rukyat. Cara ini belum menjadi pengetahuan yang massif pada masa Nabi (laa nahsibu) tetapi sudah diisyaratkan al-Quran dengan kata “husbaan” dalam Surah ar-Rahman (55) ayat 5 dan kata “wal-hisab” dalam Yunus (10) ayat 5 sebagai cara yang akan digunakan oleh kaum Muslimin sebagai wahana pemasti terjadinya awal bulan dan lain-lain. Sabda Nabi pasti adalah wahyu Allah karena itu ketika Nabi bersabda liru’yatihi tentu tidak memisahkannya dengan dua ayat yang disebutkan diatas. Ini sekaligus membenarkan apa yang dikatakan Muhammad ibn Idris asy-Syafi’ii bahwa Fal-ashlu Qur’aanun wa sunnatun, sumber hukum Islam itu al-Quran dan as-sunnah dalam satu kesatuan dan sejalan dengan apa yang dikatakan asy-Syathibi bahwa antara al-Quran dan as-Sunnah terjadi relasi yang saling memerlukan. Setiap keterangan dalam al-Quran dijelaskan as-Sunnah demikian juga sebaliknya. Jika bingkai ini dikembalikan pada konteks memposisikan antara hisab dan rukyat maka sinergi nash al-Quran dan as-Sunnah itu mengakui penggunaan rukyat dan hisab secara sekaligus dengan lebih memprioritaskan penggunaan hisab. 
Mengapa hisab diprioritaskan al-Quran dan as-Sunnah daripada rukyat? Hemat penulis kata menghitung (hisab dan husban) yang disebut al-Qur’an mengindikasikan kepastian dan mengusakahan segala sesuatu secara terukur. Ini beda dengan kata rukyat yang sejak awal mengisyaratkan potensi kelemahan. Seorang bisa mengklaim melihat hilal sementara pada saat yang sama  di tempat yang sama orang lain tidak melihatnya. Dalam hal ini Nabi saw mengajarkan cukup dilakukan sumpah kepada orang yang mengaku melihat hilal itu, Kenyataan di lapangan tidak seserhana itu. Berulangkali disini terjadi ketika diinginkan hilal itu terlihat oleh para pemantau hilal meskipun musthail untuk melihatnya maka dari sekian puluh pemantau itu ada beberapa yang mengkalim melihatnya meskipun menurut standar yang wajar sesungguhnya sukar untuk merukyat hilal dalam batas 2,5 derajat. Sebaliknya ketika dikehendaki hilal itu tidak terlihat manakala ada satu dua orang yang mengaku melihat pengakuan ini tidak akan dihitung sama sekali.
Memilih hisab wujudul hilal daripada imkanurrukyat
Ada dua metode hisab yang sering dipertentangkan pertama imkanurrukyat dan kedua wujudul hilal. Dari dua metode itu wujudul hilal yang dipilih Persyarikatan. Pilihan Persyarikatan pada hisab wujudul hilal sejalan dengan prinsip keilmuan yang dikemukakan oleh Filsuf bernama William Ockham Razor (1280-1347) yang menegaskan manakala untuk memastikan sesuatu ditemukan beberapa cara pastikanlah dengan satu cara yang lebih mudah dan memberikan kepastian segera. Metode wujudul hilal memenuhi prinsip-prinsip keilmuan yang objektif, murah dan mudah dan memberikan kepastian. Dikatakan objektif karena nilai-nilai objektivitas wujudul hilal betul-betul jauh dari prakiraan yang sulit untuk direalisasikan. Ini berbeda dengan metode imkanuurrukyat yang mengasumsikan angka derajat tertentu yang di lapangan jarang sekali teraplikasikan. Ironi pada imkaanurukyat adalah metode hisab yang semestinya memberikan kepastian menjadi sulit untuk diaplkasikan karena adanya syarat derajat tertentu yang tidak dapat dikembalikan asal-usulnya pada andasan syar’I dan kelimuan. Dikatakan murah dan mudah karena dengan perangkat yang sangat sederhana seseorang dapat mempraktekkan metode wujudul hilal di manapun kapanpun tanpa memerlukan biaya sidang istbat yang miliaran rupiah itu. Dikatakan memberikan kepastian karena wujudul hilal dapat segera memastikan suatu peristiwa itu terjadi dalam waktu yang segera jauh sebelum peristiwa itu terjadi sehingga segala sesuatu yang dihajatkan dapat dipersiapakan jauh sebelum hari H nya. Analogi wujudul hilal sama dengan lampu lalulintas yang digital itu. Tatkala para pengguna kendaraan berhenti menunggu berjalannya waktu tertentu yang diprogram dan saat angka menunjukkan angka 0 para pengendara pun bersiap-siap melajukan kendaraannya tanpa menunggu angka digital di lampu menunjuk angka 2, 3,4, 5 dan seterusnya.
Akhirul kalam
Mengngat konsistensi hasil perhitungan hisab wujudul hilal sebagaimana terbuktikan pada tanggal 14 malam bulan purnama syawal 1432, patut kiranya dipertanyakan penggunaan kaidah hukmul haakim ilzaamum wa yarfa’ul khilaaf? Pertama, konsistensi aplikasi kaedah itu perlu benar-benar diawasi terus menerus. Kedua, dan ini lebih penting, jika diasumsikan putusan pemerintah dalam sidang istbat itu dikatakan menghapuskan perbedaan dan mengikat untuk diikuti oleh segenap warga kaum Muslimin maka itu meniscayakan beberapa syarat dipenuhi terlebih dahulu oleh pemerintah. Syarat tersebut yang terutama adalah seluruh keragaman yang dianut oleh berbagai ormas mesti benar-benar disantuni dan diwadahi oleh pemerintah sehingga dirasakan adil untuk semuanya. Jika tidak dapat dipenuhi maka kaidah yang digunakan sebaiknya adalah tasharuful imam ‘alarra’iyyati manuuthun bilmashlahati. Manakala  perbedaan itu sukar untuk disatukan dalam satu kriteria bersama maka diyakini akan menjadi kemaslahatan bagi semua pihak manakala Pemerintah menampilkan diri sebagai pengayom perbedaan itu dengan mengedepankan nilai-nilai ukhuwah islamiyah.
Wallahu A’lam bish-Shawab.
sumber : sang pencerah

Posting Komentar

0 Komentar