Di suatu pagi seorang gila berlari ke pasar lalu berteriak: “Aku
mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!”. Orang lalu berkerumun menontonnya.
“Memangnya, Tuhan pergi ke mana, Dia lari atau pindah rumah?”, Tanya
seorang penonton di pasar itu sinis. Orang gila itu menatap tajam semua
orang yang monontonnya di pasar itu lalu bertanya “Coba [terka] kemana
Tuhan pergi? Tak ada jawaban. Orang gila itu menjawab sendiri “Aku mau
mengatakan kepada kalian. Kita telah membunuhnya. Ya kita semua telah
membunuhnya!”
Kisah diatas hanyalah metaforika Nietszche (1844-1900), filosof
proklamator kematian Tuhan di Barat. Metafora ini tentu menjengkelkan.
Jangankan membunuh Tuhan, membunuh makhluk saja dianggap jahat. Tapi
Nietszche juga jengkel pada sesuatu yang disebut Tuhan. Tuhan baginya
hanya ada dalam pikiran. Tuhan tidak wujud diluar sana. Ia memang ateis
tulen. Lho, kalau begitu Tuhan yang mana yang ia bunuh? Sebentar!
Ateisme ala Nietszche bukan tanpa preseden. Orang Barat nampaknya sudah lama gerah dengan agama. “Siapapun yang beragama pasti tidak bebas”, kata Nietszche.
Agama dianggap mengebiri kebebasan. Dulu menjadi sekuler pun susah,
apalagi ateis. Sedikit-sedikit dituduh ateis. Ateis bahkan hampir
seperti plesetan dan penghinaan. “Kamu ateis!” sama maksudnya
dengan “Kamu anarkis! Kamu komunis!” Ateis malah bisa berarti sifat
orang tidak saleh.
Munafik, pendosa yang merasa suci, berani dan bangga, bagi John
Wingfield adalah ateis. Bagi dramawan Inggris, Thomas Nashe (1567-1601),
ambisius, tamak, rakus, sombong dan pezina termasuk ateis. Lebih
menggelikan lagi standar Penyair William Vaughan (1577-1641), tandanya
ateis yang nyata adalah menaikkan sewa rumah. Pendek kata semua yang
buruk adalah ateis.
Ateis yang agak akademis adalah yang kritis pada teologi Kristen dan
institusi gereja. Giordano Bruno (1548-1600), tokoh rasionalis Italia,
Pierre Carvin, Pendeta Robinson, pengarang Honest to God, Paul Tillich, pengarang Systematic Theology, Schleirmacher (1768-1834) tokoh hermeneutika adalah pengkritik teologi Kristen dan dianggap ateis.
Ateis yang lebih canggih adalah yang berani menggugat Tuhan. Ingkar saja tidak cukup jadi hero. Ingkar harus dibumbui caci-maki, jadilah blasphemy. ”Tuhan Yahudi dan Kristen adalah tiran” kata Hegel (1770-1831) dan Kant (1724-1804), karena minta ketaatan penuh.
Schoopenhuer (1788-1860) mendahului Nietszche menegaskan tuhan tidak
ada. Sesudah Nietszche membunuh tuhan, Rudolf Bultmann, (1884-1976)
penulis New Testament and Mythology, memastikan “Tuhan dalam Bible telah mati, kalau tidak sekarat“. Tuhan bagi mereka adalah tirani jiwa “the stodgy old tyrant of the soul”. Bukan Tuhan agama-agama, karena Ia dianggap sudah tidak ada. Inilah Tuhan yang dibunuh Nietszche itu.
ِMengapa orang Barat bangga dan bernafsu menjadi ateis? Michael Buckley menjawab dengan buku ilmiah yang ia beri judul At the Origins of Modern Atheism (1987) (Asal Usul Kekafiran Modern). Meskipun kafir tapi modern, meskipun modern tapi kafir, mungkin begitu plesetannya. Buckley membahasnya secara analitis, serius dan komprehensif. James E Force memuji buku ini sebagai “big, bold [and] highly readable book”.
Ateisme muncul di awal era modern, kata Michael karena teologi Kristen tunduk pada filsafat (Christian theology becomes subservient to philosophical reason). Biang keladinya adalah pemikir dan filosof yang ia juluki new rationalistic defender of faith atau rationalistic philosophers,
seperti Lessius, Mersenne, Descartes (1596-16500, Malebranche, Newton
(1642-1727) dan Clarke. Mereka bicara tentang Tuhan tanpa bicara tentang
Yesus.
Bukan hanya itu, kata James. Ateisme, wujud juga gara-gara merebaknya
gerakan kritik terhadap Bible. Dari sejarah penulisannya, konsepnya
tentang Tuhan dan akhirnya eksistensi Tuhan itu sendiri.
Pengkritik Bible biasanya berlindung dibawah paham Deisme. Deist percaya pada Tuhan dengan akal, bukan lewat Bible. Tokoh-tokoh Deis Inggris adalah Spinoza, Bruno, Thomas Hobbes, Richard Simon dan lain-lain. Semuanya adalah tokoh-tokoh rasionalis.
David Berman dalam bukunya A History of Atheism in Britain: From Hobbes to Russel, setuju dengan James. Deisme adalah biang keladi
ateisme. Ateisme modern lahir karena akarnya diremehkan, dicurigai dan
terkadang dianggap sepi oleh para teolog yang merasa terancam.
Ateisme dipicu oleh kebencian terhadap dan kebebasan (liberalisme) dari agama. “Now hatred is by far the greatest pleasure“, kata Don Juan. Karena itu banyak cara menjadi kafir. Ada yang ingkar Tuhan saja (atheis), ada yang ingkar agama saja (infidel) dan ada yang menolak pengetahuan tentang Tuhan dan eksistensiNya sekaligus (agnostic).
Ada yang meragukan wahyu Tuhan (skeptic), dan ada yang menolak Bible sebagai wahyu Tuhan (deist). Tapi ada juga yang menolak wahyu secara intelektual, yaitu disbeliever. Untuk yang minat ingkar Tuhan dengan akal dan hatinya, ia bisa memilih cara unbeliever. (lihat The New International Webster Comprehensive Dictionary. Hal. 1177). Banyak jalan menjadi kafir.
Dalam Islam kekufuran itu satu paket. Kufur pada rukun yang manapun
tepat kafir. Sebab satu rukun berkaitan dengan rukun yang lain. Dalam
al-Qur’an, ingkar Allah (al-Nahl : 106-107), ingkar pada ayat-ayat Allah (Israil : 98, Maryam : 73), atau menolak wahyu yang diturunkan (Muhammad : 9, al-Hajj : 72), adalah kafir. Malah beriman pada Allah tapi kufur pada Nabi (al-Nisa’ : 150-151), sama saja, tetap kafir.
Lucunya, Muslim juga tergiur shopping menu ateisme. Favoritnya adalah menu skeptic, disbeliever dan agnostic. Iman pada al-Qur’an di Lauh Mahfuz, tapi skeptik pada al-Qur’an yang diturunkan. Menyucikan maknanya tapi melecehkan huruf dan mushafnya. Ngaku beriman tapi ragu apakah bisa memahami Allah, mirip doktrin credo et intelegam.
Jika mahasiswanya berani bertanya ”Mana epistemologi Tuhan?” dosennya
malah dengan arogan menulis tesis ”Menggugat Wahyu Tuhan”. Jika di
Barat memprotes gereja melahirkan ateisme, disini malah ada yang
memprovokasi, ”Agar maju tirulah Protestan!” Maksudnya agar maju
hujatlah tradisi agama (sunnah). Supaya bisa menapaki thesis Weber dari Protestan menjadi kapitalis.
Jadi persepsi James benar. Ini adalah fenomena intelektual modern (modern intellectual phenomenon),
bukan keagamaan atau sosial. Problemnya ada pada cendekiawan.
Intelektualitas diadu dengan religiusitas, filsafat dengan teologi dan
agama dengan sains. Mestinya kompromistis, integratif alias tauhidi.
Tapi masalahnya, konsep tauhid tidak built in dalam teologi agama itu. Dalam buku Dialog between Theology and Philosophy, kalimat pertama yang ditulis adalah keraguan Tertulian ”Apa ya yang
bisa dikongsi antara Athena dan Jerussalem, antara Akademi dan Gereja?
Jawabnya tidak ada dan karena itu dialog antara teologi dan filsafat
berbahaya.
Memang para teolog tidak siap dialog, kata Karen Armstrong dalam A History of God.
Tapi filosof dan saintis terus menggugat dan memberangus agama. Motonya
mudah ”Bicaralah ilmu apa saja asal jangan membawa-bawa Tuhan”.
Kalau bicara Tuhan dalam sains anda salah kamar. Sorry sir, this is a science not theology!
Teori-teori Ludwig Feurbach, Karl Marx, Charles Darwin, Friedrich
Nietszche dan Sigmund Freud pun tidak memberi ruang untuk Tuhan. Arnold
E. Loen lalu menulis buku Secularization, Science Without God.
Dunia ini bagi saintis adalah godless (tanpa tuhan). Sains yang bicara Tuhan ia tidak obyektif lagi. Here we must disagree, tulis
Arnold tegas. Baru sekuler saja sudah menyingkirkan Tuhan, apalagi
ateis. Tapi karena teolog terpojok, maka stigma “kamu ateis!” bisa
berimplikasi “Kamu saintis!” Itulah modern atheism.
”Tuhan” di Barat ternyata tidak hanya dihabisi di gereja-gereja, tapi
juga di kampus-kampus. Mungkin karena tidak ada ilmu dalam teologi
akhirnya tidak ada tuhan dalam ilmu (godless). Jadi ateis di zaman modern adalah ateis epistemologi.
Orang menjadi ateis bukan hanya karena lemah iman, tapi juga salah
ilmu. Ilmunya tidak menambah imannya. Epistemologinya tidak teologis dan
teologinya tidak epistemologis. Dalam Islam, hati yang tak berzikir
adalah mati, dan otak yang tidak bertafakkur akan kufur.
Jika beriman pada Tuhan adalah fitrah semua insan, maka ketika Nietszche membunuh Tuhan -dalam hati dan pikirannya– sejatinya ia telah membunuh fitrahnya sendiri. Jadi Nietszche benar-benar telah melakukan bunuh diri spiritual, spiritual suicide.
sumber : http://hamidfahmy.com/ateis
Senin, 07 Maret 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Posting Komentar